Oleh : Goklif Manurung
Kalau saya boleh menanggapi pernyataan salah satu anggota Tim Sekretariat Panitia Seleksi (Pansel) di media online dengan judul “Pansel Hanya Lakukan Verifikasi Administrasi, Bukan Verifikasi Faktual Untuk Calon Direksi”, saya akan katakan sebaris kalimat untuk menjawab pernyataan tersebut, bahwa “verifikasi itu untuk menyatakan bahwa pengalaman adalah satu-satunya sumber dasar pengetahuan”.
Pernyataan itu, sepertinya tergesah-gesah dilontarkan. Sehingga memunculkan pesan ke publik, adanya kekurangan dan kelemahan Tim Pansel tentang terminologi diksi verifikasi. Dalam tulisan ini, saya akan mencoba menjelaskannya.
Tim Pansel sepertinya gagap dan gugup mendefenisikan diksi verifikasi. Menurut saya, verifikasi adalah pemeriksaan tentang kebenaran suatu laporan. Cara memeriksa agar terbukti benar, bukan dengan melihat-lihat lembaran surat-surat, tetapi menelusuri asal usul surat-surat.
Proses penelusuran itu yang akan menjawab apakah surat-surat yang dipakai sebagai syarat administrasi, diketahui sah atau tidak.
Diawal pembukaan pelamaran Direksi, Tim Pansel berjanji akan membuka peran serta masyarakat dalam berpartisipasi dan memantau proses penjaringan sampai kepada pengangkatan Direksi PD PAUS dan PD PHJ.
Akan tetapi, disaat publik melihat ada yang kurang pas terhadap kebijakan seleksi, Tim Pansel meminta publik harap maklum karena adanya keterbatasan panitia seleksi.
Pengharapan pertama adalah ; agar publik memaklumi cara-cara ‘diluar akal’ tentang proses seleksi administrasi. Variabel yang dipakai adalah ‘waktu’, bahwa masa penjaringan sangat singkat. Dengan mengatakan masa penjaringan sangat singakat, ada keterbatasan Tim Pansel yang sepertinya dirancang secara sengaja.
Memang, masa periode Direksi yang sedang menjabat akan berakhir Oktober 2018. Akan tetapi, Permendagri No.37 Tahun 2018 yang mengatur pengangkatan Direksi BUMD, pada pasal 34 ayat 2, memerintahkan Pemko bahwa 6 (enam) bulan sebelum jabatan Direksi berakhir, sudah harus dilakukan penyusunan jabatan Direksi selanjutnya.
Pengharapan kedua agar dimaklumi, yang juga ‘diluar akal’, bahwa proses penjaringan pelamar Direksi membutuhkan biaya. Bila verifikasi faktual ke-24 pelamar dilakukan, maka pembiayaan akan ‘membengkak’.
Terkadang saya berpikir, kenapa untuk mendukung slogan “SIANTAR MANTAP, MAJU DAN JAYA” sepertinya Pemko sangat perhitungan, namun dilain hal mampu membuang sia-sia uang APBD lebih dari Rp 10 M ? Publik bingung dan cemas, kebijkan Pemko seringkali ibarat ‘tubuh tanpa kepala’.
Bila saya mengartikan administrasi adalah kegiatan tata usaha yang berhubungan dengan surat-menyurat, maka administrasi adalah Dokumen. Saya mendefenisikan dokumen adalah surat tertulis atau tercetak, yang dapat dipakai sebagai bukti keterangan.
Dokumen yang berbentuk sertifikat atau surat tanda berkompeten lainnya. Misal, ijazah, surat pengalaman kerja, Kartu Tanda anggota, pasti dikeluarkan oleh lembaga/organisasi yang memiliki Badan Hukum yang diakui negara.
Dokumen merupakan bagian dari pengkuan atas keahlian dan pengetahuan. Andaikan dipakai sebagai persyaratan, maka keabsahan dokumen harus di buktikan melalui 2 gerak. Diantaranya, yang pertama, gerak ke luar, adalah mencari tahu dari mana keluarnya dokumen atau siapa pembuat dokumen. Dan yang kedua, gerak ke dalam, memeriksa dokumen yang hendak dimasukkan sebagai syarat.
Kedua gerak itu harus seimbang, mengingat fungsi verifikasi administrasi untuk meyakinkan bahwa dokumen yang diterima telah memenuhi syarat sebagai data yang akurat dan tidak cacat produk.
Teoritis Positvisme Logis (filsafat positif), Auguste Conte, berkata “bila terdapat sesuatu yang tidak dapat diverifikasi secara empirik (pengalaman), maka hasilnya akan sia-sia”.
Sama halnya dengan tindakan Tim Pansel yang hanya memeriksa dokumen pelamar direksi lewat pandangan mata, layaknya sensor kebenaran terhadap keabsahan surat-menyurat.
Secara teori, hal itu adalah tindakan sia-sia. Tetapi ketika muncul kritik, publik diharapkan maklum. Ajaib memang mata Tim Pansel.
Harapan dipermaklumkan yang pertama dan kedua dengan memasukkan alasan ‘waktu’ dan ‘anggaran’, jelas merupakan cara “cerdas” untuk meredakan kritik publik akibat buruk yang ditimbulkan Tim Pansel.
Dampak buruknya adalah merugikan peserta penjaringan karena ada sebagian pelamar yang ingin di verifikasi faktual. Kelompok ini adalah yang teruji keabsahan dokumennya. Sementara bagi kelompok yang berlaku curang akan mendukung kecurangannya dengan melakukan keahlian lobi-lobi jaringan.
Publik Siantar juga akan dirugikan. Sejarah mencatat kebobrokan jajaran Dereksi periode pertama yang hampir habis masa jabatannya diduga keras mengkorupsi puluhan miliar uang rakyat, dan anehnya mereka tetap aman dan santai menjalani hidupnya.
Jika suatu saat ditemukan dokumen palsu, saya berpikir bukan hanya pelamar yang dijatuhi sanksi etik dan sanksi pidana, akan tetapi publik secara serentak akan meminta pertanggungjawaban Tim Pansel yang tidak menerapkan azas “the right person on the right place on the right time”.
Bila ditanya solusi terhadap lemahnya seleksi penjaringan dan kurang berkompetennya sebagian pelamar Direksi, saya tetap ingin mengatakan seperti ini. Pertama, secepatnya diperpanjang masa seleksi dan dijadwal ulang dari tahap awal. Lakukan verifikasi faktual terhadap seluruh dokumen yang dipersyaratkan untuk diseleksi. Kedua, lakukan terobosan untuk transparansi dengan membuka ruang publik.
Semua tahapan dan kegiatan dipersilahkan peran serta masyarakat dalam pemantauan dan pengawasan, kemudian segala usulan publik di tampung dan dipertimbangkan.
Kolaborasi dalam ruang-ruang dialog verbal perlu difasilitasi, sebab interaksi antara Pemko dan masyarakat adalah prasyarat kemajuan daerah.
Kemudian yang terakhir dan sangat urgent, tuntaskan pertanggungjawaban keuangan dan kinerja jajaran direksi periode pertama. Jika tidak, akan berdampak kepada jajaran Direksi yang akan terpilih.
Puluhan miliar uang rakyat yang terbuang sia-sia, harus dipaparkan ke publik, supaya publik tidak menganggap adanya konspirasi antara Pemko Siantar dengan penggarong uang rakyat. (**)
Discussion about this post