Oleh :
Daulat Sihombing SH MH
Ketua Sumut Watch
Berita hoax, terdiri dari dari dua kata. Berita dan Hoax. Berita artinya informasi (baru) atau informasi mengenai sesuatu yang sedang terjadi, disajikan lewat bentuk cetak, siaran, internet atau dari mulut ke mulut kepada orang ketiga atau orang banyak. Sedangkan Hoax atau sering disebut Hox, berasal dari bahasa Inggris, artinya tipuan, menipu, bohong, palsu ataupun kabar burung.
Hoax tidak hanya bentuk cetak, siaran, internet atau verbal. Tapi juga berbentuk gambar maupun video. Jadi berita hoax adalah : “Sebuah pemberitaan atau penyiaran informasi atau penayangan gambar atau penyebaran video palsu yang berusaha untuk menipu atau mangakali pembaca atau pendengar untuk mempercayai suatu hal tertentu, padahal sang pembuat berita palsu tersebut tahu bahwa berita tersebut benar- benar palsu”.
Lazimnya berita hoax timbul karena adanya kepentingan dari pihak – pihak tertentu yang bertujuan dan maksud yang tidak baik. Meski banyak masyarakat yang menganggap hoax adalah masalah yang sepele, namun hoax dapat menimbulkan berbagai dampak negatif bagi masyarakat seperti : hoax jadi pengalih isu, hoax penipuan publik, hoax pemicu kepanikan publik, hoax menjadi penyebab fitnah, hoax ujaran kebencian (hate speech), hoax membuat perpecahan suatu kelompok, termasuk menjadi sumber gangguan stablitas politik nasional. Apalagi hoax yang mengeksploitasi atau memanfaatkan SARA (Suku, Agama, Ras dan Antargolongan), dapat memicu konflik horizontal yang mengancam persatuan dan kesatuan.
Fenomena Hoax di Indonesia
Di Indonesia, hoax sebenarnya baru menggejala sejak Pilpres 2014 antara Pasangan Jokowi Widodo/ Jusuf Kalla dengan Prabowo Subianto/ Hatta Rajasa, kemudian hoax semakin massif dieksploitasi pada Pemilihan Gubernur DKI 2017 antara Pasangan Basuki Cahaya Purnama/ Djarot Saiful Hidayat dengan Anies Baswedan/ Sandiago Uno. Hoax di sini, benar- benar telah dijadikan sebagai alat “black campaign” atau kampanye hitam untuk menaikkan reputasi atau posisi tawar politik atau elektabilitas kandidat di satu sisi dan mendegradasi citra “lawan” di pihak lain.
Dalam pertarungan Pilpres 2014, hoax sebenarnya masih dalam batas- batas profile tokoh secara personal atau wilayah pribadi atau sebutlah pembunuhan karakter. Namun dalam pertarungan Pilgub DKI 2017, selain pembunuhan karakter, hoax telah dieksploitasi untuk “membunuh” lawan dan menghancurkan harmonisasi sosial. Hoax telah dimanfaatkan untuk mengeksploitasi sentimen suku, agama, ras dan antargolongan, sehingga sempat menimbulkan disharmonisasi sosial, disintegrasi bangsa, bahkan destabilitas politik terhadap kepemimpinan nasional.
Fenomena Pilpres 2014 dan Pilgub DKI 2017, sepertinya menjadi “sarang” besar dari marak dan meluasnya hoax di negeri ini, yang bagaikan penyakit endemi kemudian menjamur ke beberapa wilayah propinsi, kabupaten dan kota – kota di Indonesia, tak terkecuali Kota Pematangsiantar. Ingat, warga Pematangsiantar pernah heboh dengan isu bom gereja, penculikan anak untuk mutilasi “bisnis” organ tubuh, namun aparat kepolisian mengatakan itu berita hoax.
Dalam riel politik, hoax ternyata tidak lagi sekedar peristiwa sporadis. Tapi telah berkembang menjadi order by design yang diorganisir oleh kelompok – kelompok (politik) tertentu untuk merongrong wibawa negara, menghancurkan kredibilitas kepemimpinan nasional, merusak sistem demokrasi dan merebut kekuasaan atau mengganti ideologi negara, Pancasila.
Data Direktorat Tindak Pidana Khusus Siber Bareskrim Polri, 300 akun penyebar hoax terdeteksi Tim Patroli Siber Polri setiap bulan (Liputan.com, tanggal 06 Maret 2018). Diantara akun penyebar hoax itu, tersebut group Muslim Cyber Army (MCA), Moeslim Defeat Army, Kelompok Snipper. Dan MCA United. Akun2 ini memproduksi berbagai berita hoax, diantaranya isu penculikan ulama/ guru ngaji/ muadzin, penghinaan tokoh agama,/ masyarakat, penghinaan terhadap penguasa/ badan umum dan ujaran kebencian/ SARA.
Beberapa hari lalu, Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya, menangkap inisial SAA sebagai tersangka dalam dugaan tindak pidana ITE, karena mempublikasikan sebuah video dengan caption : “Jakarta sudah bergerak, mahasiswa sudah bersuara keras dan perserta aksi mengusung tagar #Turunkanjokowi Mohon diviralkan karena media TV dikuasai petahana”.
Kapolri Jenderal Tito Karnavian, menjelaskan, SAA diduga telah menyiarkan atau mengeluarkan pemberitaan bohong dan/ atau menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkkan rasa kebencian terhadap individu atau kelompok berdasarkan golongan melalui video hoax, yang seakan – akan ada demo ricuh di sekitar MK dan Istana Presiden, sedang sebenarnya hanyalah video simulasi pengamanan gedung MK menjelang Pemilu 2019, yang dilakukan pihak kepolisian kerjasama dengan TNI untuk penanggulanagan unjuk rasa di depan Gedung MK, Jumat tanggal 14 September 2018. Berita hoax ini menjadi info terkini hoax yang telah dimanfaatkan untuk mengguncang kepemimpinan nasional dan mengganggu stabilitas politik nasional.
Hoax dalam persfektif Hukum
Tentang hoax, sebenarnya telah cukup diatur dalam sejumlah peraturan perundang- undangan. UU No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, secara Pasal 14 ayat (1) dan (2) mengatur tentang berita hoax dan sanksi hukum. Demikian halnya dengan UU No. 11 Tahun 2008, jo. UU No. 19 Tahun 2016 ITE, Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 28 ayat (1) dan (2) juga mengatur tentang hoax.
Pasal 45 ayat (3) menyatakan bahwa : “Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menditribusikan dan/a tau mentransmisikan dan/ atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/ atau dokumen elektronik yang memiliki muata penghinaan dan/ atau pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp. 750.000.000,00. Catatan, UU No. 19 Tahun 2016 Perubahan UU No. 11 Tahun 2008, telah merubah ancaman pidana ini menjadi paling lama empat tahun penjara dan atau denda Rp. 500.000.000,00.
Sekali lagi hukum sebenarnya telah cukup mengatur tentang berita hoax, namun sekalipun faktanya hukum juga ternyata tidak mampu menyelesaikan masalah secara tuntas, sebabnya karena ketaatan terhadap hukum tidak berjalan paralel dengan konsistensi penegakan hukum.
Maka dalam konteks kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat, hukum sebagai salah satu pranata sosial haruslah menjadi pengendali politik agar kebenaran dan keadilan dapat diwujudkan, sebab bila sebalkinya politik mengendalikan hukum, maka kebenaran dan keadilan akan lenyap ditelan ketidakpastian.
Akhirnya, jangan biarkan berita hoax menghancurkan harmonisasi sosial kita, jangan biarkan berita hoax mengancam ketenangan kita. Mari jaga negeri ini dengan perang terhadap hoax. (**)
NB
Tulisan diatas telah dipaparkan penulis pada Diskusi Politik, yang digelar Kesbangpol, 21 September 2018, di Ruang Data Kantor Walikota Pematangsiantar
Discussion about this post