Oleh : Jalatua Hasugian
Setiap tanggal 17 Agustus seluruh rakyat Indonesia, di mana pun berada bersuka cita merayakan detik-detik proklamasi kemerdekaan. Peringatan yang digelar secara nasional dari ibukota hingga ke pelosok dusun ini, pada sisi lain membuktikan bahwa semangat juang patriot-patriot bangsa senantiasa dikenang. Ragam kegiatan digelar saat tujuh belasan, baik berupa seremonial maupun hiburan rakyat. Perayaan kemerdekaan disambut demikian semarak sebagai refleksi kebebasan dari kolonialisme di masa lalu.
Ada suasana baru kita lihat pada tahun 2017 ini, dimana pemerintah menghimbau agar Sang Merah Putih dikibarkan selama sebulan penuh, baik di kantor-kantor pemerintahan maupun swasta, juga di rumah-rumah warga di seluruh Indonesia. Pokoknya, kemeriahan perayaan tujuh belasan kali ini benar-benar semarak selama sebulan penuh pada bulan Agustus sekaligus upaya membangkitkan heroisme dan nasionalisme generasi bangsa.
Terkait dengan nasionalisme, kebetulan saat ini merupakan momentum yang tepat untuk mengingat perjuangan bangsa, khususnya para pemuda di Pematangsiantar pada awal kemerdekaan. Saat ini kita tengah merayakan Hari Ulang Tahun Tentara Nasional Indonesia (HUT-TNI) Ke 72, tanggal 5 Oktober 2017. Jadi, tidak ada salahnya jika kita mencoba menelisik ke belakang sebentar, sembari mengingat perjuangan para pendahulu kita semasa perang kemerdekaan.
Meski dalam kondisi serba terbatas, sama dengan pemuda dan rakyat di wilayah lainnya di seantero nusantara, para pemuda di Pematangsiantar turut berkontribusi dalam mempertahankan kemerdekaan. Namun yang pasti, mereka adalah tentara-tentara rakyat yang kelak menjadi cikal bakal TNI, yang berperan aktif semasa perang kemerdekaan.
Kembali pada masalah Sang Merah Putih, ada sejarah tersendiri tentang aktivitas pengibarannya untuk pertama kali di Kota Pematangsiantar. Peristiwa berani nan heroik yang digagas Abdul Aziz Siregar bersama puluhan pemuda ini digelar di Lapangan Pagoda (Lapangan Merdeka) atau yang lebih akrab disebut “Taman Bunga” pada tanggal 27 September 1945. Di lokasi pengibaran Merah Putih pertama kalinya itu, pada tahun 1996 dibangun sebuah monumen kecil berbentuk prasasti. Pertanda bahwa di sana pernah terjadi peristiwa yang penting dikenang sebagai memori kolektif sekaligus edukasi historis bagi generasi muda.
Prasasti yang diukir pada marmer hitam dilekatkan di atas bangunan konstruksi bata berplester massif tersebut, sekarang terletak di Jalan Merdeka, Kelurahan Proklamasi, Siantar Barat, tak jauh dari Balai Kota. Jika kita berjalan dari Jalan Merdeka samping Tugu Becak menuju Perpustakaan Sintong Bingei, prasasti itu ada di sebelah kanan kita. Atau persis di sudut kiri Lapangan Pariwisata bersebelahan dengan tembok perpustakaan.
Pada prasasti itu tertulis: “Tanggal 27 September 1945 di sekitar ini terjadi peristiwa upacara penggerekan/pengibaran bendera merah putih yang pertama di Pematang Siantar/Simalungun oleh Pemuda-pemuda dan kekuatan rakyat Siantar/Simalungun. Dibangun oleh: Tim Khusus Perencana/Pelaksana Pembangunan Tetengger di Kodya Tk II P.Siantar. SK Walikota Madya Tk II P. Siantar No.430/15-WK/1996 tanggal 29 Januari 1996”.
Meski punya nilai historis, ironisnya prasasti ini ‘tersembunyi’ sehingga orang yang melintas tak mengetahui sama sekali jika di sekitar itu pernah terjadi sebuah peristiwa sejarah.
Apalagi setelah adanya Tugu Becak yang dibangun pada tahun 2016 lalu, prasasti ini nyaris luput dari perhatian publik. Entah mengapa pula, tak ada plank nama prasasti tersebut yang bisa dilihat publik sebagai pertanda. Jadinya, prasasti berbentuk trapesium tegak ini tampak ‘kesepian’ di tengah hiruk pikuknya aktivitas warga di sekitarnya.
Kondisi ini tentu sangat kontras dengan Tugu Becak di sebelahnya yang memang tampak antik dan unik.
Padahal becak bermotor bermerk “BSA” ini merupakan warisan kolonial yang digunakan sebagai kendaraan perang. Sedangkan prasasti ini merupakan tonggak sejarah yang punya kaitan dengan momentum kemerdekaan bangsa Indonesia. Boleh jadi, karena bentuknya yang hanya bangunan polos saja dan tingginya juga sekitar satu meter, jadi kurang menarik perhatian publik, sehingga tak cocok untuk lokasi dan latar berselfi ria (swa foto).
Begitupun, kita perlu tahu sekilas apa cerita sejarah yang melatari Pemda Pematangsiantar saat itu berkenan mendirikan prasasti tersebut.
Pengibaran Sang Merah Putih 27 September 1945.
Kita tentu mafhum (faham), jika berita Kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan di Jakarta pada 17 Agustus 1945, tak serta-merta bisa segera diketahui seluruh rakyat. Sebab sarana komunikasi ketika itu merupakan barang berharga yang sangat langka. Kalau pun ada yang memiliki pesawat telepon atau radio, mereka sudah tergolong warga kelas atas. Setidaknya, mereka adalah para pedagang, pegawai kolonial atau keturunan raja (bangsawan).
Media cetak seperti koran dan majalah pun sangat terbatas. Sebab pemerintah kolonial Belanda maupun penguasa berikutnya, yakni Jepang tak gampang memberi izin. Mereka kerap membekukan media-media yang ada, utamanya media yang bersikap kritis terhadap kebijakan penguasa. Oleh karena itu, menjadi lumrah jika berita kemerdekaan sangat lambat diketahui penduduk. Apalagi tentara Jepang yang berkuasa menjelang kemerdekaan kita, berupaya menutup informasi agar rakyat jangan sampai mengetahui jika Indonesia sudah merdeka.
Jepang melarang penyebarluasan berita tentang kemerdekaan dan menyatakan informasi tersebut keliru. Maklum, mereka masih menguasai surat-surat kabar dan radio sehingga mereka masih leluasa menyatakan berita tentang proklamasi itu tidak benar. Meskipun tetap saja ada diantara tokoh-tokoh pergerakan atau penduduk yang memiliki radio dan diam-diam informasinya disebarluaskan secara terbatas kepada masyarakat.
Di Medan, berita kemerdekaan dibawa langsung oleh Mr. Tengku Moh.Hasan dan Dr.M.Amir sebagai utusan dari Sumatera yang menghadiri pembacaan teks proklamasi di Jakarta. Mereka tiba kembali di Medan pada tanggal 24 Agustus 1945 tetapi tidak langsung mengumumkannya. Pengumuman resmi baru dilakukan pada 30 September 1945 oleh Tengku Moh.Hasan, saat pertemuan Barisan Pemuda Indonesia (BPI) di Taman Siswa, Amplas Medan. (Edisaputra; 1987: 78). Pengumuman tentang kemerdekaan ini disambut meriah. Dengan semangat gegap gempita, para pemuda pun mengibarkan bendera merah putih yang sebelumnya sudah disiapkan.
Menurut Edisaputra dalam bukunya “Sumatera Dalam Perang Kemerdekaan: Perlawanan Rakyat Semesta Menentang Jepang, Inggris dan Belanda” terbitan Yayasan Bina Satria 45 Jakarta (1987), informasi tentang kemerdekaan di Sumatera Timur, khususnya Pematangsiantar –Simalungun sudah terdengar sejak awal September 1945 oleh sejumlah tokoh-tokoh pergerakan. Salah seorang tokoh pergerakan yang dikenal di kalangan pejuang Siantar Simalungun ketika itu, Abdullah Yusuf. Yusuf pernah mendapat surat dari Dr.A.K.Gani di Palembang agar segera menyampaikan berita kemerdekaan kepada segenap rakyat di Simalungun.
Karena kebingungan memikirkan bagaimana teknis mengumumkannya, Yusuf mengajak rekannya sesama pejuang, diantaranya: Abdul Azis Siregar, Burhanuddin Kuncoro, Menes Tampubolon dan Ricardo Siahaan untuk berdiskusi. Apalagi, Yusuf punya pertimbangan jika tentara Jepang yang masih berkuasa saat itu pasti akan bereaksi, jika mereka mengumumkan bahwa Indonesia sudah merdeka. Bukannya dapat solusi, Yusuf malah didesak rekan-rekannya agar segera mengumumkan kemerdekaan kepada rakyat.
Karena tak kunjung ada ketegasan dari Abdullah Yusuf yang malah terus memikirkan banyak pertimbangan, Abdul Azis Siregar dan rekan-rekannya spontan bertindak sendiri. Pada tanggal 27 September 1945, mereka menggelar apel pemuda di sekitar Lapangan Pagoda dan mengibarkan bendera Merah Putih sembari menyanyikan bersama-sama lagu Indonesia Raya. Sedangkan Teks Proklamasi tak dibacakan karena mereka belum memperoleh salinan naskahnya.
Pengibaran bendera Merah Putih pertama kalinya di Pematangsiantar dan pertanda pengumuman kemerdekaan ini, merupakan langkah berani para pemuda Siantar Simalungun. Padahal hanya terpaut puluhan meter dari lokasi mereka menggelar upacara, tentara Jepang mengamatinya dari markasnya di Siantar Hotel. Namun mereka tampak diam seribu bahasa melihat tindakan heroisme para pemuda meski tanpa dihadiri jawatan-jawatan atau dinas-dinas maupun perwakilan pemerintahan atau raja-raja setempat.
Mengenang peristiwa inilah makanya di lokasi pengibaran bendera Merah Putih pertama kalinya ini, sekarang dibangun sebuah prasasti. Paling tidak, sekadar untuk membingkai memori kolektif publik, khususnya warga Kota Pematangsiantar untuk mengenang sebuah peristiwa sejarah kemerdekaan tahun 1945. Makanya, kita turut prihatin jika prasasti yang harusnya memberikan nilai edukasi historis pada generasi muda ini malah kurang mendapat perhatian. “Dirgahayu TNI Ke 72. Bersama Rakyat, TNI Semakin Tangguh dan Perkasa Menjaga Eksistensi NKRI”.
Penulis merupakan Dosen FKIP Universitas Simalungun
Discussion about this post