SBNpro – Simalungun
Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) hadirkan kesusahan dan kesulitan baru bagi warga. Seperti yang dialami warga di desa tertinggal di Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara (Sumut). Salah satunya, kesulitan yang dirasakan ratusan pelajar yang tinggal di Nagori (Desa) Siporkas, Kecamatan Raya, Simalungun.
Pelajar di desa itu harus naik ke bukit dan memanjat pohon untuk bisa mengikuti kegiatan belajar dengan sistem dalam jaringan (daring/virtual). Itu dilakukan agar sinyal ponsel smartphone yang digunakan pelajar dapat membuka aplikasi belajar virtual dari guru sekolahnya masing-masing.
Desa Siporkas terdiri dari tujuh dusun (huta). Umumnya masyarakat di sana bertani dan hasil perkebunan untuk menopang kehidupannya. Sama seperti banyak desa lainnya di Kabupaten Simalungun. Sedangkan dari sisi fasilitas untuk menunjang kehidupan sosial, Desa Siporkas masih tergolong tertinggal.
Untuk menuju Nagori Siporkas dari ibu kota Simalungun (Raya), jaraknya lebih dari 30 kilometer (Km). Sedangkan dari Kota Siantar, jaraknya sekira 60 Km. Bila ditempuh dengan sepeda motor dari Kota Siantar, akan “memakan” waktu sekitar 1,5 jam.
Meski jaringan listrik telah ada di desa itu, namun disituasi pandemi Covid-19 ini, warga desa cukup dibuat kelimpungan. Selain sebagian jalan rusak yang memperlambat akses transportasi hasil pertanian dan kebun, lemahnya jaringan internet serta jaringan telekomunikasi, membuat warga disana kesulitan mengakses informasi, sulit berkomunikasi dan kesusahaan ketika belajar daring digelar oleh pihak sekolah.
Lemahnya sinyal di wilayah Desa Siporkas, membuat ponsel jarang difungsikan warga. Karena untuk bisa menggunakan ponsel, termasuk smartphone, minimal warga harus berada di kawasan perbukitan atau memanjat pohon.
Sedangkan untuk mendapat sinyal yang lebih kuat, maka harus berada diatas pohon yang ada di perbukitan. Hal itulah yang dilakukan pelajar yang ada di Desa Siporkas. Seperti yang dilakukan pelajar di Dusun Bah Pansungsang. Hal itu dilakukan, agar bisa mengikuti konsep belajar virtual dari sekolahnya. Terutama hal itu dilakoni pelajar laki-laki.
Sementara, dari kawasan pemukiman penduduk Dusun Bah Pansungsang menuju lokasi perbukitan yang memiliki sinyal, para pelajar harus berjalan kaki sekira 1,5 Km. Biasanya, dimasa jam belajar, ada puluhan pelajar Bah Pansungsang berada di atas pohon. Pada titik tertentu, kawasan perbukitan itu cukup berbahaya bagi pelajar SMP dan SD. Karena lokasinya cukup terjal.
Desa Siporkas berada di ketinggian 600 meter diatas permukaan laut (mdpl). Sedangkan kawasan perbukitan yang dijadikan lokasi belajar, berada diketinggian 900 mdpl hingga 1.000 mdpl. Hanya saja, meski telah berada dibukit, tak pula menjamin sinyal selalu ada dan kuat. Untuk itu, sejumlah pelajar Bah Pansungsang sudah menandai lokasi bukit yang memiliki sinyal.
“Titiknya (sinyalnya) tidak banyak. Makanya sebagian memanjat pohon supaya anak-anak ini bisa terbagi. Posisi tempat duduk yang bisa terjangkau sinyal cukup terbatas juga,” ungkap Aldi, salah satu pelajar yang ada perbukitan.
Biasanya, sejumlah pelajar sudah ada dikawasan perbukitan sejak jam 08.00 WIB, hingga berakhir proses belajar virtual sekira jam 10.00 WIB. Asyiknya, lokasi bukit itu, kini menjadi ruang interaksi baru, bagi pelajar dari berbagai usia. Karena mereka kerap berkumpul disana.
Kepala Nagori (Kepala Desa/Pangulu) Siporkas, Hendra Putra Saragih mengatakan, sinyal internet dan ponsel menjadi salah satu kendala yang serius bagi warganya. “Jangankan sinyal internet, untuk menelepon pun susah. Harus kita cari dulu sinyal biar bisa menelepon,” ujar Hendra Putra Saragih.
Katanya, ada beberapa kelemahan dari sistem belajar daring. Selain sinyal yang lemah di Nagori Siporkas, orang tua siswa juga kesulitan mengawasi anaknya ketika menggunakan smartphone. Ditambah lagi, untuk belajar daring, siswa harus mendaki bukit. “Dikhawatirkan, anak-anak disana malah kebanyakan bermain game,” ucapnya.
Disisi lain, Pangulu Siporkas tersebut juga menjelaskan sistem belajar yang dilakoni siswa di nagorinya. Katanya, selain sistem daring, juga ada pihak sekolah yang menggunakan sistem luar jaringan (luring).
Dengan konsep luring ini, guru membagikan materi dan tugas belajar ke setiap rumah siswa. Hanya saja, jika ada hal yang ingin dipertanyakan kepada gurunya, maka siswa tetap saja harus naik ke bukit, guna menghubungi gurunya melalui smartphone. Sehingga peran belajar daring, tetap dibutuhkan siswa yang tinggal di Desa Siporkas.
Editor: Purba
Discussion about this post