Oleh M Gunawan Purba
Aturan spesifik terkait pemberantasan tindak pidana korupsi sudah lama ada di negeri ini. Seperti Undang-undang (UU) nomor 3 tahun 1971. UU tahun 1971 ini dicabut dan dibatalkan, seiring dengan lahirnya UU nomor 31 tahun 1999 yang telah diubah dengan UU nomor 20 tahun 2001.
Kemudian, ada juga UU nomor 28 tahun 1999 tentang penyelenggara negara yang bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Dengan UU nomor 28 tahun 1999 ini, diharapkan mampu melahirkan penyelengara negara dan penyelenggara pemerintahan yang berintegritas dan bersih, sehingga tercipta pemerintahan yang baik.
Lantas bagaimana dengan perjalanan pemberantasan korupsi di negeri ini? Terutama di Kota Pematangsiantar yang sering disebut dengan Siantar. Kecewa. Itu jawabku. Terserah dengan anda. Karena aku punya alasan untuk merasa kecewa.
Setidaknya, setiap tahun BPK menerbitkan hasil auditnya (LHP/laporan hasil pemeriksaan) terhadap pelaksanaan anggaran di lingkungan Pemko Siantar. Dari hasil audit itu, sangat banyak indikasi korupsi yang ditemukan BPK. Mulai dari kekurangan volume pekerjaan (proyek), kelebihan pembayaran dan lainnya.
Hanya saja, dari banyaknya indikasi korupsi yang ditemukan BPK, sangat banyak pula yang tidak tersentuh hukum. Jikapun ada, prosesnya di lembaga penegakan hukum cukup panjang, dan ada yang tak kunjung tuntas, meski penyelidikan sudah dimulai dari beberapa tahun lalu. Seperti kasus dugaan korupsi pekerjaan (proyek) di Dinas PUPR tahun 2018 yang ditangani Polres Siantar, salah satunya.
Sementara di Kejaksaan Negeri (Kejari) Siantar, ada kasus dugaan korupsi yang tak kunjung sampai ke pengadilan, padahal sudah bertahun lamanya perkara itu ditangani oleh jaksa yang ada di sana. Dalam hal ini, kasus dugaan korupsi di Perusahaan Daerah Pembangunan dan Aneka Usaha (PD PAUS).
Uniknya, dari tahun lalu sudah beredar informasi, kalau tersangka kasus dugaan korupsi di PD PAUS sudah ditetapkan jaksa penyidik. Namun kasus itu belum juga masuk ranah pengadilan. Entah dimana “parsilapnya”.
Beberapa waktu lalu, beredar wacana, kerugian keuangan negara yang ditemukan BPK tidak akan ditindaklanjuti dengan proses hukum (pidana), bila yang bersangkutan membayar (menyelesaikan) kerugian keuangan negara tersebut dimasa 60 hari pasca LHP BPK disampaikan.
Pendapat itu seperti itu pernah diungkap aparatur penegak hukum. Di Kota Siantar, hal itu pernah disampaikan Kepala Seksi Intel Kejari Siantar, BAS Faomasi Jaya Laia SH kepada sejumlah jurnalis.
Pemahaman seperti itu, juga menjadi “senjata” aparatur birokrasi, untuk tidak “menyeret” terduga korupsi ke ranah hukum, saat ditanya tentang penyelesaian kerugian keuangan negara sebagaimana hasil dari audit BPK (Badan Pemeriksa Keuangan).
Imbas dari pemahaman itu, dalam beberapa tahun belakangan ini, BPK kerap menemukan indikasi korupsi (kerugian keuangan negara) di lingkungan Pemko Siantar. Bahkan, disaat BPK memberi penilaian wajar tanpa pengecualian (WTP) terhadap keuangan Pemko Siantar tahun anggaran 2014, tetap saja ada ditemukan kegiatan anggaran yang terindikasi merugikan keuangan negara.
Parahnya lagi, disaat dugaan korupsi PT Erapratama Putra Perkasa (PT EPP) sebesar Rp 2,9 miliar terkait pekerjaan (proyek) pembangunan jembatan VIII Sta 13+441 hingga Sta 13+436 tahun anggaran 2019, yang ditemukan indikasi kerugian keuangan negaranya oleh BPK tahun 2020 lalu, sampai dengan tanggal 28 Januari 2021 belum dibayar (dikembalikan) oleh kontraktor dari PT EPP.
Mirisnya, penyelenggara pemerintahan di Kota Siantar, sanggup mengatakan, masih menunggu etiket baik dari PT EPP. Padahal dugaan kerugian keuangan negara disana mencapai Rp 2,9 miliar, atau lebih 20 persen dari nilai kontrak kerja Rp 14,427 miliar.
Ketua DPRD Kota Siantar, Timbul Marganda Lingga SH mengaku, lembaganya memungkinkan akan melaporkan dugaan korupsi PT EPP tersebut ke lembaga penegakan hukum, setelah meminta penjelasan dari Pemko Siantar.
Hal yang sifatnya masih mungkin melaporkan itu “digarisbawahi” oleh Timbul Marganda Lingga, bila kontraktor tidak memiliki etiket baik untuk mengembalikan kerugian keuangan negara.
Tetapi, jangankan meminta penjelasan, sampai dengan kemarin (02 Pebruari 2021), surat untuk meminta penjelasan-pun belum dikirim Ketua DPRD Siantar itu ke Pemko Siantar. Padahal, ia mengucapkan akan meminta penjelasan Pemko Siantar pada tanggal 26 Januari 2021.
Lantas kapan Ketua DPRD ini tahu kontraktor PT EPP memiliki etiket baik atau tidak? Lantas, apakah hal yang sudah ditemukan sejak tahun lalu, yang notabene sudah lebih dari 60 hari (batas pengembalian), masih perlu untuk ditunggu etiket baiknya? Lantas, apakah kontraktor dari PT EPP itu memiliki etiket baik ketika mengerjakan proyek itu? Entahlah. Mungkin anda bisa menjawabnya sendiri.
Bahkan beredar kabar dari pejabat berkompeten dibidang penyelesaian kerugian keuangan negara, kalau kontraktor disebut memiliki etiket baik, dengan berjanji akan mencicil dugaan kerugian keuangan negara Rp 2,9 miliar. Ah, ada ada saja. Kenapa tidak dilapor ke polisi atau jaksa atau ke KPK saja?
Aneh. Kok bisa etiket baik menjadi jurus yang ampuh untuk (saat ini) menyelamatkan terduga korupsi dari jeratan hukum? Dan istilah etiket baik itu coba didengungkan aparatur penyelenggara negara/pemerintahan dan juga aparatur penegak hukum. Lantas efek jeranya mana?
Padahal sudah jelas di ketentuan pasal 4 UU nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Dimana di pasal 4 itu ditegaskan : Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3.
Tentunya, bila beranjak dari ketentuan pasal 4 UU nomor 31 tahun 1999 itu, bilapun dugaan kerugian keuangan negara Rp 2,9 miliar dikembalikan, maka sudah sepatutnya kasus dugaan korupsi tetap harus ditangani (diproses) oleh lembaga penegak hukum. Dalam hal ini, utamanya oleh Kejaksaan Negeri Kota Siantar dan Polres Siantar, bila terjadi di Kota Siantar.
Serta, aparatur penegak hukum dari dua institusi itu tidak perlu menunggu laporan (pengaduan) dari pihak tertentu. Karena kasus dugaan korupsi bukan delik aduan. Ditambah lagi, dugaan korupsi PT EPP telah menjadi sorotan publik. Seiring dengan aksi unjuk rasa Pemuda Anti Korupsi (PAK) di Kejari Kota Siantar beberapa pekan lalu, dan telah disorot sejumlah media massa. (*)
Discussion about this post