Oleh M Gunawan Purba
Jalan Lingkar (Outer Ring Road) di Kota Siantar terancam tidak dapat dimanfaatkan secara maksimal, meski sudah ratusan miliar uang negara digelontorkan untuk membuka dan membangun jalan sepanjang 12 kilometer tersebut, sejak masa pemerintahan Walikota Siantar RE Siahaan yang lalu.
Ancaman itu muncul dari pekerjaan proyek yang hasilnya tidak becus. Proyek tidak becus hasilnya, dugaannya bisa karena ulah kontraktor, bisa juga diduga karena perencanaan yang salah, atau memungkinkan pula karena praktik “kotor”, suap misalnya.
Salah satu ancaman nyata itu datang dari proyek tahun anggaran 2018. Dalam hal ini pekerjaan Pembangunan Jalan Sta 09+310/Sta 10+150, dengan nilai kontrak Rp 9,985 miliar.
Proyek itu berupa pekerjaan pembangunan jembatan gorong-gorong galvanis yang terdapat di Jalan Lingkar, Kelurahan Bah Kapul, Kecamatan Siantar Sitalasari, Kota Siantar, Sumatera Utara.
Pasca dikerjakan, setidaknya sejak tahun 2020, proyek telah alami kerusakan parah. Proyek itu disebut, belum dimanfaatkan. Pun begitu, belum diketahui secara pasti, sejak kapan proyek tersebut alami kerusakan fatal.
Sedangkan disebut alami kerusakan sejak tahun 2020, hal itu merunut surat dari PPK (Pejabat Pembuat Komitmen) Program Pembangunan Jalan dan Jembatan pada Dinas PUPR Kota Siantar yang ditujukan kepada Kepala Dinas PUPR Kota Siantar. Dari surat tertanggal 4 Desember 2020 itu, dilaporkan PPK, kalau proyek sudah rusak fatal.
Sementara baru-baru ini (30 September 2021), kondisi proyek terkesan hancur. Kerusakan parah bukan cuma di gorong-gorong galvanisnya saja, melainkan bagian tembok jembatan juga telah ambruk.
Dampak dari kerusakan, hasil dari proyek pembangunan itu tidak bermanfaat. Sehingga mengancam manfaat Jalan Lingkar tidak bisa dimaksimalkan. Serta, negara juga alami kerugian Rp 9,985 miliar, karena proyek tidak bermanfaat.
Hanya saja, tindakan hukum terkait kerugian negara dari proyek itu dari aparat penegak hukum (APH) yang ada di Kota Siantar, belum terlihat oleh penulis. Baik APH dari kepolisian, maupun dari kejaksaan. Sementara, pada proyek itu ada terjadi dugaan korupsi, maupun dugaan kolusi.
Padahal UU mengamanahkan, baik polisi dan jaksa diberi wewenang serta tugas oleh negara untuk menindak siapa saja yang menciptakan kerugian keuangan negara. Dengan harapan, pemerintahan baik dan terbebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme dapat terwujud.
Bila hal ini tetap dibiarkan tanpa tindakan hukum, dikhawatirkan akan menjadi preseden buruk, serta dapat pula melemahkan wibawa lembaga penegak hukum, terutama di Kota Siantar. Bukan hanya itu, pembiaran akan memancing semakin bertambah banyak pelaku kecurangan lainnya dimasa depan.
Untuk itu, sudah sepantasnya salah satu dari institusi penegak hukum tersebut menggelar penyelidikan untuk mencari tahu ada tidaknya perbuatan melawan hukum, sehingga negara alami kerugian Rp 9,985 miliar di Jalan Lingkar.
Apalagi secara kasat mata, setiap orang yang memiliki mata yang sehat, dapat melihat keberadaan proyek gorong-gorong galvanis di Bah Kapul telah hancur. Ditambah lagi, proyek tahun 2018 itu telah dibayar 100 persen melalui dua tahun anggaran, yakni, tahun anggaran 2018 dan 2019.
Sesuai UU Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi, menegaskan, bahwa penyedia jasa wajib bertanggungjawab atas kegagalan bangunan (proyek) dalam jangka waktu yang ditentukan sesuai dengan rencana umur kontruksi.
Kemudian, penegak hukum juga perlu mencari tahu kebenaran tentang hal yang menyebabkan proyek tersebut hancur. Misal, apakah karena kegagalan dalam perencanaan? Atau, apakah karena ada unsur “main mata” antara pengawas serta PPK dengan kontraktor, sehingga kualitas proyek tidak sesuai rencana anggaran belanja (RAB)? Atau mungkin karena hal lainnya. (*)
Discussion about this post