SBNpro – Siantar
Untuk mempertanggungjawabkan pengelolaan keuangan negara, seluruh instansi pemerintah dan lembaga negara, termasuk kejaksaan, setiap tahun menyampaikan laporan keuangan ke Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk diperiksa.
Pasca melakukan pemeriksaan rutin setiap tahunnya, kemudian BPK menerbitkan laporan hasil pemeriksaan (LHP). LHP BPK itu harus ditindaklanjuti oleh instansi pemerintah maupun lembaga negara, bila ada ditemukan indikasi kerugian keuangan negara.
Hanya saja, soal dugaan kerugian keuangan negara, di Kota Siantar, LHP BPK terhadap laporan keuangan Pemko Siantar tahun 2019 diimbangi dengan hasil pemeriksaan Kejaksaan Negeri (Kejari) Siantar.
Dalam hal ini, terkait indikasi kerugian negara pada proyek pembangunan jembatan VIII Sta 13+441 hingga Sta 13+436 Outer Ring Road Tahun 2019 di Kota Siantar.
Selisih nilai dari indikasi kerugian keuangan negara yang dihasilkan dari kedua lembaga itu sangat mencolok. LHP BPK menyatakan, indikasi kerugian keuangan negara pada proyek pembangunan jembatan VIII mencapai Rp 2,9 miliar. Namun Kejari Siantar menyebut indikasi kerugiannya jauh lebih kecil dari LHP BPK, yakni, cuma Rp 304 juta.
Kepala Seksi Intel (Kasi Intel) Kejaksaan Negeri (Kejari) Siantar Rendra Yoki Pardede SH, saat ditemui ruangan kerjanya Selasa (23/11/2021) mengatakan, terhadap proyek Jembatan VIII, Kejari Siantar bukan melakukan audit, melainkan pemeriksaan.
Katanya, pemeriksaan merupakan bagian dari rangkaian operasi inteligen yang digelar Kejari Siantar terhadap proyek tersebut. Dimulai sejak 11 Pebruari 2021 yang lalu.
“Lakukan operasi inteligen. Itukan operasi inteligenkan istilah kami. Sebenarnya penyelidikanlah,” ucap Rendra Yoki Pardede, sembari menambahkan, pada penyelidikan, Kejari Siantar meminta keterangan dari berbagai pihak.
Para pihak yang diminta keterangan, sebutnya, diantaranya, kontraktor dari PT Erapratama Putra Perkasa (PT EPP), Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dari Dinas PUPR Kota Siantar Opstip Pandiangan dan lainnya.
Selain meminta keterangan, dalam melakukan pemeriksaan, tutur Rendra, Kejari Siantar melibatkan ahli dari Politeknik Negeri Medan (Polmed). “Tim memeriksa pekerjaan itu dengan turunkan ahli dari Polmed,” ujarnya.
Ditanya Polmed bukan sebagai lembaga pemeriksa (auditor), Rendra mengaku tidak memahami alasan Polmed dipilih untuk melakukan pemeriksaan ketika itu.
Saat pemeriksaan dilakukan, Rendra belum bertugas di Kejari Siantar. Ketika itu Kasi Intel Kejari Siantar adalah BAS Faomasi Jaya Laia SH.
Lebih lanjut disampaikan Rendra, dari pemeriksaan yang dilakukan ahli, Kejari Siantar juga menemukan pemahalan harga (kelebihan bayar) dan kekurangan volume pekerjaan pada proyek Pembangan Jembatan VIII. Sehingga terindikasi merugikan keuangan negara sebesar Rp 304 juta. Hasil pemeriksaan Kejari Siantar itu diterbitkan 12 April 2021.
Dijelaskan Rendra, temuan pemahalan harga itu terjadi pada pengadaan dan pemasangan gelagar pada pekerjaan proyek tersebut.
Dimana sesuai RAB, sebutnya, untuk pengadaan dan pemasangan gelagar dianggarkan Rp 475 juta (termasuk pajak). Namun dari pemeriksaan ahli, seharusnya Rp 469 juta (termasuk pajak).
Pada proyek itu terdapat 14 item pemasangan gelagar, katanya. “Kelebihan (Rp) 6 juta sekianlah per satu titik (gelagar),” ungkapnya.
“Jadi kelebihan bayarnya 14 kali (Rp) 6 juta lah,” ucapnya kemudian, lalu menambahkan kembali, juga ada kekurangan volume pekerjaan, sehingga total indikasi kerugian negara dari hasil pemeriksaan ahli menjadi Rp 304 juta.
Dicontohkan Rendra, pemahalan harga terjadi, ketika di RAB dianggarkan biaya crane untuk pemasangan gelagar. Namun saat pemasangan, PT EPP tidak menggunakan crane. “Tapi spesifikasinya sesuai,” katanya.
Ungkap Rendra lagi, sesuai hasil pemeriksaan BPK, untuk pengadaan dan pemasangan gelagar, biayanya jauh lebih rendah. Rendra mengaku tidak tahu saat pemeriksaan dilakukan, Kejari Siantar ada atau tidak ada berkoordinasi dengan BPK.
Disinggung ada tidaknya perbuatan melawan hukum pada pekerjaan proyek Pembangunan Jembatan VIII, Kasi Intel Kejari Siantar itu mengatakan, kekurangan volume pekerjaan merupakan perbuatan melawan hukum. Namun, timpalnya, kerugian negara dari kekurangan volume pekerjaan itu telah dibayarkan.
Sementara itu Anggota Komisi III DPRD Siantar dari Fraksi Nasdem, Frengky Boy Saragih, Rabu (24/11/2021) mengaku heran dengan adanya hasil audit lain selain BPK. Sebab dasar pengembalian negara harus jelas.
Menurutnya, adanya hasil pemeriksaan lain terkesan meragukan hasil pemeriksaan BPK. “Secara hierarki kan harusnya BPK. Pengembalian kerugian negara ini akan menjadi pemasukkan untuk kas negara dan dipertanggungjawabkan. Tentu harus jelas dasar hukumnya,” kata Frangky.
Frangky pun merasa aneh bila kejaksaan menjalani fungsi sebagai lembaga audit. Pasalnya kerugian negara dari LHP BPK tersebut sudah diterbitkan April 2020 dan belum juga dilunasi setelah 60 hari dikeluarkan.
“Tupoksi kan berbeda. Kejaksaan kan lembaga hukum. Kita kan menganut temuan BPK. Ini kan soal uang. Kalau nggak mereka (kejaksaan) ajalah jadi lembaga audit semua ini,” ujar Frangky. (*)
Editor: Purba
Discussion about this post