SBNpro – Simalungun
Korupsi terindikasi terjadi di Dinas Pekerjaan Umum (PU) Simalungun sekira Rp 1,63 miliar. Hal itu sebagaimana Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Tahun 2022 terhadap Laporan Keuangan Pemkab Simalungun Tahun Anggaran 2021.
Terkait indikasi korupsi tersebut, Sekda Simalungun Esron Sinaga selaku Ketua Tim Penyelesaian Kerugian Keuangan Negara/Daerah (TPKND) dan Hotbinson Damanik selaku Kepala Dinas (Kadis) PU Simalungun memilih bungkam (tidak menjawab), saat dipertanyakan penyelesaian kerugian keuangan negara di Dinas PU Simalungun oleh SBNpro, Minggu sore (18/09/2022).
Sesuai LHP BPK, indikasi korupsi Rp 1,63 miliar itu berupa kekurangan volume pekerjaan pada dua kegiatan anggaran (proyek) peningkatan jalan di Kabupaten Simalungun tahun 2021 yang lalu.
Tahun lalu, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Simalungun menganggarkan belanja modal pada tahun anggaran 2021 sebesar Rp 244.584.053.464 (Rp 244 miliar). Anggaran belanja modal itu diaudit (diperiksa) BPK tahun 2022 ini.
Dari pemeriksaan, BPK menemukan kekurangan volume pekerjaan pada proyek Peningkatan Jalan Jurusan Haranggaol-Simp Salbe, Kecamatan Haranggaol Horison, Kabupaten Simalungun. Kekurangan volume itu terindikasi merugikan negara Rp 790 juta. Proyek itu dikerjakan kontraktor dari PT JPG.
Kekurangan volume pekerjaan PT JPG sebesar Rp 790 juta, sebagaimana hasil audit BPK, diantaranya, pekerjaan lapis pondasi agregat kelas A sebesar Rp 62.228.647, pekerjaan beton semen fc’ = 15 Mpa (bahu jalan) sebesar Rp 156.394.912, pekerjaan laston lapis aus sebesar Rp 569.762.324, dan pekerjaan penyediaan bahan anti pengelupasan sebesar Rp 1.647.490.
Kemudian, kekurangan volume pekerjaan juga ditemukan auditor BPK pada proyek Peningkatan Jalan Jurusan Simpang Pangalbuan – Kariahan, Kecamatan Raya, senilai Rp 844,6 juta. Proyek ini dikerjakan PT Yus.
Setelah diperiksa auditor, BPK menemukan kekurangan volume pekerjaan pada item perkerasan pekerjaan beton semen fc’ = 15 Mpa (bahu jalan) sebesar Rp 369.070.638, pekerjaan laston lapis aus sebesar Rp 474.324.806, dan pekerjaan penyediaan bahan anti pengelupasan sebesar Rp 1.221.415.
Terkait temuan BPK tersebut, Jejaring Ombudsman, Ratama Saragih mengatakan, pengembalian kerugian keuangan negara setelah ditemukan BPK, tidak menghapus pidana. Hal itu sesuai dengan Pasal 4 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi.
Dengan demikian, tegas Ratama, tidak ada ruang bagi pelaku kejahatan yang merugikan keuangan negara. Sehingga kepastian hukum terkait indikasi kerugian negara sebagaimana ditemukan BPK, harus dituntaskan aparat penegak hukum (APH).
Menurutnya, bila pelaku korupsi mengembalikan kerugian negara, hal itu selayaknya dapat dijadikan penyidik sebagai dasar untuk melakukan proses hukum.
Sebab, pengembalian kerugian keuangan negara, nantinya akan menjadi pertimbangan hakim dalam memutus perkara di persidangan. Sehingga APH diminta segera memproses setiap temuan BPK, bila dinyatakan terindikasi merugikan keuangan negara. (*)
Editor: Purba
Discussion about this post