SBNpro – Siantar
Agar masyarakat tidak tersesat, Harungguan Purba Simalungun Indonesia (HPSI) bersama Tim Save Si Imbou Bolon, gelar Forum Group Diskusi (FGD) terkait nama Gunung Simbolon, dengan tema “Save Si Imbou Bolon”.
FGD digelar di Siantar Hotel, Sabtu (22/07/2023), dengan narasumber berkompeten, seperti Prof Dr Erond L Damanik (Guru Besar Universitas Negeri Medan), Dr Hisarma Saragih (Universitas Simalungun/USI), Drs Kannes Purba, serta Jaitip Purba dan Kerisman Purba. Tiga narasumber terakhir merupakan tokoh masyarakat Simalungun.
ProfDr Erond L Damanik menegaskan, meski saat ini nama salah satu gunung di Simalungun tertulis Simbolon, kata Simbolon sama sekali tidak menunjuk atau tidak merujuk dari marga (klan) Simbolon. Melainkan, nama itu merujuk dari sebutan Si Imbou Bolon.
“Meskipun tertulis hari ini Simbolon, kata ini sama sekali tidak menunjuk pada klan tertentu,” sebut Prof Dr Erond L Damanik saat memaparkan makalahnya, berjudul: Sejarah Penamaan Dolog Si Imbou Bolon Dan Manfaatnya Bagi Suku Simalungun.
Kemudian, Erond juga mengingatkan, bila ada yang mengklaim kawasan Gunung Simbolon merupakan ulayat klan tertentu, maka klaim tersebut merupakan penyesatan sejarah.
“Jika ada yang mengklaimnya sebagai ulayat, itu adalah penyesatan sejarah atau klaim sepihak, tanpa dasar,” tandasnya.
Dijelaskan Erond, penamaan suatu nama, didasarkan pada komunitas tempatan, dengan pertimbangan berdasarkan keletakan, posisi topografis maupun geografis.
Kemudian, bisa pula berdasarkan kejadian aneh atau cara manusia memandang maupun merasakannya. Serta, pertimbangan, bisa pula berdasarkan peristiwa yang pernah terjadi, peristiwa mistis, serta bukti intisu dan semua nama punya arti maupun makna.
Katanya, catatan sejarah Dolog (Gunung) Si Imbou Bolon merupakan folkore (cerita rakyat) di Simalungun tentang penghuni hutan.
“Dolog Si Imbou Bolon catatan sejarah merupakan folkore di Simalungun tentang penghuni hutan, (yakni) Siganjang Kateas atau Imbou atau Mawas,” ungkapnya.
Asal muasal kata Si Imbou Bolon, papar Erond, berasal dari kata si yang merupakan kata depan, imbou yang berarti mawas (kata benda), dan bolon berarti besar yang merupakan kata sifat. Atau, disebut dengan Dolog Sihabolonan yang berarti dolog (gunung) paling tinggi Di Simalungun.
“Karena Dolog Si Imbou Bolon merupakan gunung yang paling tinggi di Simalungun. Sehingga Dolog Si Imbou Bolon ataupun Dolog Sihabolonan, dan jika pun kini disebut Dolog Simbolon, namun artinya adalah adalah, yang pertama (menunjukkan) lokasi atau tempat hewan imbou (mawas) berada, dan yang kedua, gunung paling tinggi di Simalungun,” ujarnya.
Selain itu, kata Erond, sebagai catatan, bahwa di kawasan tersebut terdapat perkampunagn bernama Simbou Kehen dan Simbou Huluan. Maka logikanya gunung tersebut disebut Dolog Simbou Bolon, atau pun Si Imbou Bolon.
Sedangkan ditinjau dari gejala bahasa Hiperkorek, kata yang sudah benar, tetapi “dibenar-benarkan”, sehingga menjadi salah. “Simboulon disebut klan Simbolon, Sionggang disebut Sitonggang, atau Si-umorang disebut Situmorang,” paparnya.
Asimilasi bahasa atau perubahan bunyi, juga turut mempengaruhi. “Seperti Marryland menjadi Marelan, Moravia menjadi Morawa, Helvetica menjadi Helvetia, Polend menjadi Polonia, Si Imbou na Bolon menjadi Simbolon,” ujar Erond memberikan contoh.
Ditandaskan Prof Dr Erond L Damanik, berdasarkan tradisi di Simalungun, mustahil Dolog Simbolon hari ini pararel dengan klan Simbolon.
Karena yang paling mungkin adalah Si Imbou Nabolon, tempat di mana mawas paling banyak ditemukan.Itu sesuai kondisi belantara (hutan) pada eranya. Atau sihabolonan yang maknanya gunung yang paling besar dan luas di Simalungun.
Sementara itu, Dr Hisarma Saragih dalam pemaparannya mengatakan, suku Simalungun memberikan nama terhadap wilayahnya dengan sebutan kebiasaan.
Sehingga nama-nama menjadi ingatan kolektif orang Simalungun. Dan bila ada gangguan, dapat membangkitkan “memori kolektif” dari suku Simalungun.
Seperti, di wilayah Kerajaan Raya pada abad 19, yang berkuasa ketika itu adalah Raja Raya Tuan Rondahaim Saragih Garingging, dan juga ada Partuanon Buluh Raya.
Wilayah Kerajaan Raya, tutur Hisarma, berbatasan dengan wilayah Kerajaan Panei. Dimana kedua wilayah kerajaan tersebut terdapat pegunungan yang tinggi. “Oleh orang Simalungun menyebutnya dengan dolog nabanggal dan dolog sigijangan,” ucapnya.
Itu karena, kawasan itu merupakan wilayah pegunungan, dengan puncaknya disebut “dolog nabolon”. Kawasan pegunungan dan puncaknya dihuni oleh satwa liar yang beraneka ragam. Seperti harimau, yang oleh orang Simalungun harimau disebut “begu”.
Kisahnya pun ada, kata Hisarma. Dimana, ketika “begu” melintas dari lereng gunung dan mendekat ke perkampungan penduduk maupun ke tepi sungai, maka secara spontan binatang imbou (siamang) akan bersuara “mengimbou”. Dan suara “mengimbou” itu terdengar hingga ke wilayah Partuanon Buluh Raya dan Kerajaan Panei.
“Suara Imbou itu tidak sendiri, tetapi kalau sudah bunyi satu pasti diikuti oleh kawananya, dan bahkan binatang lainnya. Jika Imbou sudah bersuara, itu pertanda bahwa “begu” telah turun dari dolog dan melintas ke perkampungan penduduk,” sebut Hisarma.
Oleh karena itu, begitu mendengar suara “mengimbou”, kepala desa (“gemut”), akan mengingatkan warganya untuk jaga diri. Serta mengingatkan larangan untuk bepergian ke ladang dan keluar nagori (desa).
Bukan hanya itu, “gemut” juga menginstruksikan warganya untuk memasukkan hewan ternak ke kandangnya. “Untuk mencegah agar jangan dimangsa begu (harimau),” katanya.
Dengan kondisi demikian, adanya suara imbou dari puncak dolog nabolon tersebut, oleh penduduk menyebut dan menamai gunung tersebut Dolog Si Imbou Bolon.
“Sampai kini di kecamatan Raya ada nagori yang bernama Si Imbou Kehen dan Si Imbou Luan. Desa atau nagori ini sudah tergolong sangat tua umurnya, dan daerah ini juga menjadi desa percontohan tingkat nasional dari Kabupaten Simalungun. Hal ini adalah merupakan ingatan kolektif suku Simalungun. Pada sisi lain dinamika kehidupan suku Simalungun juga telah mempengaruhi nama dan penamaan akan suatu kawasan di daerah Kabupaten Simalungun saat ini,” ungkapnya.
Dosen Pasca Sarjana USI ini menjelaskan, perubahan penyebutan nama terjadi akibat berbagai hal. Diantaranya, derasnya migrasi orang asing ke Simalungun yang berasal dari yang bukan suku Simalungun.
Lalu, semakin lama, jumlah pendatang semakin banyak, dan melebihi jumlah orang Simalungun. Para pendatang itu kemudian menukar nama-nama wilayah dengan nama yang mereka buat.
“Sebut saja ketika Belanda menguasai wilayah Simalungun, maka wilayah ini disebut Simelungun. Demikian Juga ibukota kerajaan disebut Pematang, yang pada awalnya adalah Pamatang. Dolok yang berawal dari dolog, Tiga Langgiung yang sekarang disebut Tiga Haranggaol, dan sebagainya,” ujar Hisarma.
Selanjutnya Dr Hisarma Saragih ini juga memaparkan tentang pentingnya eksistensi penamaan terhadap keberlangsungan suku Simalungun. Katanya, eksistensi suatu suku bangsa, ditentukan sejauhmana suki bangsa tersebut mampu mempertahankan identitasnya sebagai jati diri yang berbudaya.
“Manakala sebuah bangsa kehilangan jati dirinya, maka eksistensi bangsa tersebut akan hilang, atau lenyap secara perlahan-lahan. Ada pendapat yang mengatakan, bahwa untuk melemahkan dan menjajah suatu negeri dengan tiga cara, yaitu : 1. Kaburkan sejarahnya. 2. Hancurkan bukti-bukti sejarahnya sehingga tidak bisa lagi diteliti dan dibuktikan kebenarannya. 3. Putuskan hubungan mereka dengan leluhurnya dengan mengatakan leluhurnya itu bodoh dan primitif,” tandasnya.
Tentu saja, lanjut Hisarma, Indonesia tidak mau kehilangan suku bangsa di wilayahnya. Sehingga diterbitkan undang-undang untuk melindungi keberadaan suku bangsa tersebut.
“Apalagi suku Simalungun sendiri, pasti tidak akan suka hilang dari peredaran. Untuk itu perlu menjelaskan sejarahnya dengan menggali, dan menuliskan sejarahnya. Memelihara bukti-bukti sejarah 8 Suku Simalungun itu sendiri, hal ini juga sudah didukung oleh Negara Indonesia dengan adanya UU Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya,” katanya.
Narasumber lainnya, tokoh masyarakat yang juga pelaku sejarah, Jaitip Purba dan Kerisman Purba menjelaskan tentang pemekaran Nagori (Desa) Dolok Maraja di Kecamatan Tapian Dolok, yang semula nama nagori pemekaran yang diusulkan pihak berkompeten adalah Nagori Sordang Raya.
Namun oleh oknum di Pemkab Simalungun, usulan itu diabaikan. Lalu menetapkan nama nagori secara sepihak dan tanpa dukungan tokoh-tokoh Simalungun dan masyarakat dusun Sordang Raya, menjadi Nagori Dolok Simbolon pada tahun 2012 yang lalu.
Dikatakan Jaitip Purba, penetapan nama Nagori menjadi Nagori Dolok Simbolon, sama sekali tidak pernah diusulkan dan disetujui oleh Kepala Nagori Dolok Maraja dimasa proses pemekaran berlangsung.
“Yang pernah menjadi pangulu (kepala nagori) pada nagori Simbolon saat itu tidak pernah ada menyetujui dan mengusulkan nama pemekaran Nagori Simbolon. Tetapi yang bebar diusulkan adalah Nagori Sordang Raya, yang sampai saat ini masih memiliki bukti autentik,” kata Jaitip Purba.
Itu terjadi, diduga “permainan” sejumlah oknum di Pemkab Simalungun di masa itu. “Ada dugaan diubah oknum-oknum tertentu di Pemkab Simalungun pada saat itu, demi mengaburkan sejarah dan kultur budaya Simalungun,” sebutnya.
Pasca narasumber menyampaikan makalahnya, dan setelah diperdalam melalui sesi tanya jawab, peserta FGD Harungguan Purba bertajuk “Save Dolog Si Imbou Bolon” yang terdiri dari tokoh masyarakat Simalungun, tokoh pemuda Simalungun dan lainnya, berhasil menyimpulkan hasil FGD dan akan melakukan langkah pemulihan untuk nama Dolog Si Imbou Bolon.
Salah satu peserta FGD, yang juga Wakil Ketua DPP HPSI, Gregorius Purba mengatakan, ada tiga point penting yang harus ditindaklanjuti para peserta FGD.
Adapun tiga point penting itu diantaranya:
1. Meminta Pemkab Simalungun dan DPRD Simalungun segera mengembalikan nama Gunung Simbolon ke nama yang sebenarnya, yakni, Dolog Si Imbou Bolon.
2. Meminta kepada Pemkab Simalungun dan DPRD Simalungun segera mengubah nama Nagori Dolok Simbolon ke nama yang nagori yang diusulkan (asal), yakni, Nagori Sordang Raya.
3. Melakukan pertemuan dan menyurati Bupati Simalungun, DPRD Kabupaten Simalungun, DPRD Provinsi Sumatera Utara, Badan Pertanahan Nasional (BPN), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan ke setiao instansi terkait lainnya, terkait penamaan Dolog Si Imbou Bolon dan Nagori Sordang Raya.
FGD yang digelar HPSI tersebut berjalan sukses, pasca difasilitas Koordinator Panitia FGD, Rohdian Purba (juga Sekretaris Umum DPP HPSI), beserta unsur panitia FGD lainnya. FGD dibuka secara resmi oleh Ketua Harian DPP HPSI Gidion Purba. (*)
Discussion about this post