Oleh
M Gunawan Purba
Dalam kurun waktu 10 tahun belakangan ini, pemanfaatan Lapangan Haji Adam Malik di Kota Siantar cukup sering menjadi perdebatan antara sejumlah elemen masyarakat, wakil rakyat, pengusaha dan pemerintah.
Baik itu perdebatan di warung kopi, sorotan melalui media massa (baik media cetak dan online), maupun melalui aksi unjuk rasa yang digelar untuk itu. Bahkan, dalam beberapa bulan belakangan ini, pemanfaatan Lapangan Haji Adam Malik, masih menuai kontroversial.
Kontroversial semakin terasa, ketika pengguna fungsi lapangan berasal dari kalangan non pemerintah. Masalah “keabsahan” izin yang diberikan oleh instansi pemerintah daerah, merupakan bagian utama dalam perdebatan.
Hadirnya peran media dalam perdebatan pemanfaatan Lapangan Haji Adam Malik, membuat banyak kalangan terpancing untuk menyatakan pendapatnya. Meski terkadang, yang tersaji dimedia tertentu hanya berupa opini, dengan narasi yang berasal dari individu atau lembaga yang kurang memiliki kompetensi. Namun dampaknya, cukup mampu mendiskreditkan pihak pengguna manfaat dan pemberi izin pemanfaatan.
Begitu juga dengan peniadaan target pendapatan asli daerah (PAD) dari jenis retribusi pemanfaatan Lapangan Haji Adam Malik, yang “diproduksi” melalui Rapat Gabungan Komisi DPRD Kota Siantar beberapa tahun yang lalu.
Padahal disisi lain, Perda (Peraturan Daerah) nomor 9 tahun 2014 tentang perubahan Perda nomor 5 tahun 2011 tentang retribusi daerah, masih berlaku dan belum pernah dibatalkan.
Di Perda itu, jelas diatur tata cara penarikan pendapatan dari retribusi pemanfaatan Lapangan Haji Adam Malik. Dijelaskan di Perda itu, mengenai besaran biaya yang dibebankan kepada pengguna Lapangan Haji Adam Malik. Diantaranya :
a. Pemakaian untuk keperluan rapat atau pertemuan yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah atau TNI/Polri gratis.
b. Pemakaian untuk pertunjukan bersifat komersil yang dipergunakan untuk kepentingan perorangan atau badan hukum sebesar Rp 1.000.000 per hari.
c. Pemakaian untuk konser musik sebesar Rp 10.000.000 per hari
d. Pemakaian untuk pameran sebesar Rp 2.000.000 per hari.
Sehingga, dengan belum dibatalkannya Perda nomor 5 tahun 2011, yang telah diubah dengan Perda nomor 9 tahun 2014, maka pemungutan retribusi dari pemanfaatan Lapangan Haji Adam Malik masih tetap sah untuk dilakukan Pemko Siantar.
Untuk itu pula, berlandaskan Perda nomor 5 tahun 2011 yang sudah direvisi melalui Perda nomor 9 tahun 2014, selayaknya Pemko Siantar memberikan jawaban tegas kepada DPRD Kota Siantar terkait peniadaan target pendapatan dari retribusi pemanfaatan Lapangan Haji Adam Malik. Sebab, aturan yang sah mengharuskan pemungutan retribusi, ketika lapangan dimanfaatkan untuk pertunjukan bersifat komersil, konser musik dan pameran.
Bahkan, bila merunut ke Perda nomor 15 tahun 1989 yang sebagian isinya mengatur tentang legalitas nama dan fungsi Lapangan Haji Adam Malik. Dengan Perda ini, Lapangan Haji Adam Malik dapat difungsikan untuk kegiatan upacara kenegaraan, upacara atau kegiatan keagamaan, pesta budaya dan kegiatan kemasyarakatan.
Dengan demikian, beranjak dari dua jenis Perda tentang retribusi daerah dan pemanfaatan lapangan, sudah cukup bagi Pemko Siantar sebagai acuan untuk memberikan izin pemanfaatan dan menarik pendapatan dari Lapangan Haji Adam Malik.
Hanya saja sebelum ini, ada kesan diskriminasi dalam pemberian izin pemanfaatan lapangan. Disatu sisi, lapangan tampak diperkenankan digunakan perorangan/kelompok tertentu. Namun disisi lain, perorangan/kelompok tertentu tidak diperkenankan menggunakan.
Kesan diskriminasi dengan tidak diberikannya izin, merupakan salah satu pemicuh kontroversialnya pemanfaatan lapangan. Seharusnya, tidak ada alasan untuk tidak memberikan izin, sepanjang persyaratan yang diatur di kedua Perda diatas, tidak dilanggar, atau terpenuhi ketentuannya.
Kedepan diharapkan, pemberi maupun penerbit advis perizinan, agar lebih memperhatikan manfaat dari kegiatan pemanfaatan lapangan, dengan memperhatikan kebutuhan masyarakat Kota Siantar.
Seperti akhir-akhir ini, dari memperhatikan perkembangan di media sosial (medsos) bernama facebook, serta dari perbincangan antar sesama warga, tidak sedikit masyarakat Siantar butuh akan hiburan. Katakanlah hiburan berupa konser musik.
Tentunya, memberikan izin konser musik untuk menghibur masyarakat, dengan membebankan biaya retribusi kepada penyelenggara, patut untuk diapresiasi. (**)
Discussion about this post