Oleh M Gunawan Purba
Hari ini, Selasa (22/02/2022), dr Susanti Dewayani SpA dilantik sebagai Wakil Walikota Siantar oleh Gubernur Sumatera Utara Edy Rahmayadi di Medan. Susanti dilantik, sesuai hasil Pilkada Siantar tahun 2020.
Pasca dilantik sebagai Wakil Walikota Siantar, sebagaimana amanah Undang-undang (UU) Nomor 23 Tahun 2014 yang telah diubah dengan UU lainnya, Susanti pun dihunjuk sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Walikota Siantar oleh Gubernur Sumatera Utara.
Sebagai Plt Walikota Siantar yang bakal menjadi walikota defenitif nantinya, tentunya Susanti harus memahami permasalahan yang ada di Kota Siantar. Baik permasalahan birokrasi, keluhan masyarakat, narkoba, penegakan hukum, lingkungan dan lainnya.
Kali ini penulis ingin menyajikan permasalahan yang dianggap penulis krusial di Kota Siantar. Utamanya, soal prilaku menyikapi permasalahan yang muncul. Sebab tak jarang permasalahan itu merupakan persoalan klasik yang tidak kunjung tuntas.
Sebut saja persoalan yang dampaknya mengancam kelangsungan generasi muda, seperti persoalan penyalagunaan dan peredaran narkotika maupun obat-obatan terlarang (narkoba).
Kota Siantar merupakan salah satu kota darurat narkoba. Namun tindakan pemerintah dalam menyikapi darurat narkoba, tidaklah maksimal. Selain masih banyak warga yang menjadi korban, program kegiatan anggaran pada APBD untuk mencegah penyalagunaan dan pemberantasan peredaran narkoba, tidak signifikan dirasakan masyarakat.
Sekaitan dengan itu, sejumlah tempat hiburan malam di Kota Siantar, sering menjadi tempat peredaran narkoba. Hanya saja, usaha hiburan malam itu masih saja dibiarkan bebas beroperasi. Padahal telah menjadi sorotan publik
Sejumlah usaha hiburan malam telah berulang kali ditemukan menjadi tempat transaksi maupun tempat mengkonsumsi narkoba. Sehingga sudah sepatutnya dikenakan sanksi pencabutan izin operasi. Misalnya, Studio 21 atau Miles, Koraoke Anda dan lainnya.
Begitu juga dengan sejumlah kawasan yang disebut-sebut sebagai “kampung” narkoba. Program Kelurahan Bersinar (Bersih Narkoba) pun layak dievaluasi pelaksanaannya.
Seperti Program Bersinar di Kelurahan Banjar, Melayu dan Karo, pelaksanaannya pantas dievaluasi secara menyeluruh. Agar kelurahan itu benar-benar bersih dari narkoba.
Ditambah lagi, tersiar kabar, bandar narkoba telah berani memberikan “stabil” (suap) kepada profesi tertentu, agar aksi bejatnya dapat berjalan lebih lancar.
Bila hal itu dibiarkan, bukan tidak mungkin kedepan, bandar narkoba akan masuk ke ranah politik untuk memenangkan “bonekanya” pada kontestasi Pilkada. Jika itu terjadi, maka generasi bangsa ini akan benar-benar rusak. Suatu ancaman yang sangat menakutkan.
Selain narkoba, bahaya lainnya yang menjadi persoalan di Kota Siantar berupa sikap dari Pemko Siantar yang melakukan pembiaran terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan.
Sebut saja persoalan pelanggaran Perda (Peraturan Daerah). Tahun 2016 yang lalu, Pemko Siantar melalui Sat Pol PP beserta tim terpadunya, bersikap tegas melakukan penggusuran (pembongkaran) pemukiman masyarakat marginal di pinggiran Sungai “Toge” di Kelurahan Toba, Kecamatan Siantar Selatan.
Bukan hanya itu, usaha pedagang kecil di pinggir jalan dan di pinggir sungai Bah Bolon, juga disikat Sat Pol PP. Penggusuran marak dilakukan ketika itu. Sat Pol PP saat itu benar-benar tegas. Alat berat, palu besar dan peralatan lainnya dibuat bergerak untuk meluluhlantakkan bangunan yang umumnya milik kaum marginal.
Namun ironi sekali, Pemko Siantar sama sekali tak berdaya menghadapi bangunan milik pengusaha kaya. Meski bangunan melanggar peraturan perundang-undangan. Misalnya, bangunan Restoran City & Hotel (Studio 21/Miles) di Jalan Lintas Siantar – Parapat, Kecamatan Siantar Marimbun, Kota Siantar.
Bangunan Studio 21 itu juga berdiri di atas pinggiran sungai, dan sudah berdiri sejak tahun 2016 yang lalu. Hanya saja, hingga saat ini, bangunan masih juga dibiarkan berdiri kokoh.
Tidak ada tindakan tegas dari Pemko Siantar terhadap bangunan Restoran City & Hotel. Tidak ada alat berat dan palu besar digunakan untuk membongkar bangunan itu. Tidak seperti bangunan warga di pinggiran Sungai “Toge”. Meski secara kasat mata, pelanggaran aturan jelas terlihat. Padahal ada sanksi pidana diatur pada UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, bagi pelanggar tata ruang.
Begitu juga dengan maraknya bangunan rumah toko (ruko) milik oknum berkantong tebal di inti kota. Bangunan berdiri di atas gang kebakaran. Hingga saat ini tidak juga dibongkar. Diskriminasi pun semakin terasa.
Bukan hanya itu permasalahan di Kota Siantar. Bila kita perhatikan hasil audit (laporan hasil pemeriksaan/LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) di sepanjang 15 tahun hingga 18 tahun belakangan ini, sepertinya temuan ketidakpatuhan Pemko Siantar terhadap peraturan perundang-undangan tidak jarang menghiasi LHP BPK.
Bukan hanya tidak patuh terhadap peraturan perundang-undangan, auditor BPK juga menemukan dugaan (indikasi) korupsi (kerugian negara). Mulai dari perjalanan dinas, hingga kekurangan volume pekerjaan proyek dan kelebihan pembayaran.
Salah satu yang bisa dicontohkan penulis, seperti dugaan korupsi pada pengerjaan Proyek Pembangunan Jembatan VIII Sta 13+441 hingga Sta 13+346 Outer Ring Road yang dikerjakan tahun 2019, dan menjadi temuan BPK tahun 2020.
Pada proyek pembangunan jembatan VIII tersebut, BPK menemukan kekurangan volume pekerjaan. Sehingga diduga merugikan keuangan negara Rp 2,9 miliar. Sampai saat ini, kerugian keuangan negara tersebut belum dibayar lunas oleh PT EPP.
Namun uniknya, PT EPP, disebut PPK proyek tersebut ketika itu, tidak dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam Perpres tentang pengadaan barang dan jasa pemerintah.
Kemudian dari pantauan dan penelusuran penulis, pengerjaan Proyek Pembangunan Jembatan Gorong-gorong Galvanis tahun 2018, juga bermasalah. Proyek ini, pembayaran terakhir dilakukan Bendahara Umum Daerah (BUD) Kota Siantar pada tahun 2019 yang lalu.
Namun pada tahun 2020, jembatan dengan gorong-gorong galvanis tersebut sudah hancur. Negara pun terindikasi alami kerugian sebesar nilai proyek Rp 9,9 miliar. Pasalnya, setelah beberapa bulan, proyek itu tidak dapat dimanfaatkan fungsinya hingga saat ini.
Munculnya masalah dugaan kerugian keuangan negara pada banyak proyek, tidak terlepas dari rasa tidak pedulinya birokrat di Kota Siantar terhadap kerugian negara. Hal itu perlu diseriusi oleh Wakil Walikota Susanti.
Begitu pula dengan aparat penegak hukum (APH) yang diharapkan mampu menyeret oknum yang melakukan perbuatan melawan hukum ke pengadilan, juga membuat kecewa.
“Boro-boro” menyeret sampai ke pengadilan, tahun lalu (2021), Kejaksaan Negeri (Kejari) Kota Siantar malah “menyaingi” hasil audit BPK dengan menerbitkan hasil pemeriksaan terhadap Proyek Pembangunan Jembatan VIII. Kejari menyatakan, indikasi kerugian negara pada proyek itu hanya Rp 304 juta.
Padahal, jikapun jaksa menyebut kerugiannya jauh lebih kecil dari hasil audit BPK, sebaiknya jaksa meneruskan proses hukumnya ke tingkat penyidikan, hingga dibuktikan di pengadilan. Karena ada dugaan perbuatan melawan hukum disana.
Untuk itu, permasalahan indikasi kerugian negara yang ditemukan BPK dari tahun ke tahun, haruslah menjadi perhatian serius Susanti, dengan bersikap tegas terhadap pimpinan OPD (organisasi perangkat daerah) dan kontraktor.
Sikap tegas itu, diharapkan bisa dilakukan Plt Walikota Siantar Susanti Dewayani, dengan membawa temuan BPK ke ranah hukum dan mengenakan sanksi sebagaimana diatur di peraturan perundang-undangan. Tujuannya, agar ada efek jera.
Hal lain yang cukup krusial dan sangat mendesak, berupa persoalan pencegahan dan penanganan banjir. Hal ini berhubungan dengan pengerjaan proyek pembangunan.
Serta, juga berhubungan dengan sikap birokrat yang harus peduli terhadap warga yang tertimpa musibah, dan sikap peduli terhadap pemukiman warga yang terancam banjir. Proyek pencegahan banjir, haruslah ada secara maksimal dan terlaksana dengan maksimal. (*)
Discussion about this post