SBNpro – Siantar
Jumat (03/05/2019), Direktur Eksekutif Study Otonomi dan Pembangunan Demokrasi (SOPO), Kristian Silitonga kembali sikapi dugaan kecurangan yang terjadi saat pemungutan suara pemilu 17 April 2019 disejumlah TPS di Kelurahan Huta Bayu, Kecamatan Huta Bayu Raja, Kabupaten Simalungun, Sumut.
Bagi Kristian, penyelenggara pemilu di Kabupaten Simalungun, baik KPU dan Bawaslu berkewajiban menjaga dan mengedepankan azas pemilu luber (langsung umum bebas dan rahasia) serta jurdil (jujur dan adil) dalam setiap melaksanakan proses maupun tahapan pemilu.
Sehingga, terkait dugaan kecurangan yang terungkap saat rapat pleno rekapitulasi perhitungan suara pemilu 2019 tingkat Kecamatan Huta Bayu Raja, KPU dan Bawaslu tidak perlu ragu untuk mengawal azas jujur dan adil, meski ada ketentuan pembatasan waktu yang terlampaui, dengan memperhatikan hal-hal yang prinsipil.
Untuk itu, baik KPU Simalungun maupun Bawaslu Simalungun terlebih dahulu membuktikan dugaan kecurangan yang terjadi di sejumlah TPS di Kelurahan Huta Bayu. Lalu, jika kecurangan itu terbukti, maka sudah seharusnya KPU dan Bawaslu mengedepankan azas jurdil, dengan menggelar PSU (Pemungutan Suara Ulang).
“Dalam konteks implementasi, sesuatu yang sifatnya prinsipil, itu tidak boleh dilimitasi oleh waktu dan persyaratan formal prosedural. Jajaran penyelenggara dan pengawas pemilu semestinya memahami essensi dan prinsip suatu kebijakan publik. Sepanjang bukti dan data-data telah menunjukkan adanya kecurangan dan pelanggaran terhadap prinsip pemilu yang jurdil dan luber, itu harus disikapi dan ditindak lanjuti. Jangan berdalih dengan mengajukan alasan-alasan formal prosedural untuk mengenyampingkan kebenaran substansial,” tandas Kristian Silitonga.
“Jika pun ada kendala formalitas semestinya penyelenggara kan memiliki terobosan kebijakan (diskresi) apalagi jika ditemukan bukti dan data-data yang cukup kuat untuk dapat ditindak lanjutinya suatu laporan atau temuan di lapangan,” sambungnya menyerukan.
Menurut Kristian, penyelenggara harus memperhatikan segala aspek dasar laporan. Untuk mengetahui terpenuhinya suatu persyaratan yang diatur melalui regulasi pemilu. “Jika penyelenggara dan pengawas pemilu memakai kaca mata kuda dalam melihat persoalan ini, maka mereka betpotensi berhadapan dengan DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu),” ucapnya.
Untuk itu Kristian berharap, penyelenggara dalam memahami suatu regulasi pembatasan waktu, agar tidak mengenyampingkan suatu kebenaran subtansial. “Jadi tolong dipahami pengaturan pembatasan waktu dalam regulasi itu tidak dimaksudkan untuk mengenyampingkan kebenaran substansial. Tapi lebih kepada untuk menjaga tertib penyelenggaraan pemilu saja,” pintanya.
Dalam hal ini, Kristian menganalogikan peristiwa “dilapangan”. Dimana ditemukan kendala-kendala, maka ada kewenangan kebijakan yang dimiliki oleh penyelenggara untuk menindaklanjutinya.
“Sebagai contoh, waktu tahapan rekapitulasi pemilu ini saja terbukti molor dilapangan, karena kendala-kendala objektif yang ada. Tapi faktanya dapat diperpanjang kok. Mestinya pertimbangan serupa juga bisa berlaku untuk persoalan ini. Apalagi sepanjang untuk menegakkan prinsip-prinsip pemilu secara konsisten dan berintegritas. Itu point utamanya,” tandas Kristian Silitonga.
Editor : Purba
Discussion about this post