SBNpro – Siantar
Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), Arist Merdeka Sirait terbitkan siaran pers elektronik melalui pesan Whatsapp (WA), Sabtu (02)02/2019), guna menyikapi perkara cabul (kekerasan seksual) terhadap 5 anak pria dan wanita yang diduga dilakukan NU (31), seorang guru agama perempuan di Aceh Utara.
Dijelaskan Arist, perkara itu telah ditangani Polres Aceh Utara, berdasarkan laporan tertanggal 30 Januari 2019 yang lalu. Dengan perkara itu, NU telah ditetapkan sebagai tersangka. Dan terancam hukuman 20 tahun penjara.
Dikatakan, berdasarkan informasi yang diterima Komnas PA dari Relawan Sahabat Anak Indonesia, dugaan tindakan cabul terhadap 2 anak pria dan 3 anak wanita itu terjadi pada waktu berbeda, dalam kurun waktu satu tahun. Diduga, terakhir dilakukan pada tahun 2018 yang lalu. Perbuatan itu dilakukan di kamar tersangka.
Sedangkan perkara kekerasan seksual terhadap 5 anak itu terungkap, setelah orang tua korban (anak)melaporke Polres Aceh Utara, 29 Januari 2019 lalu. Disebut Arist, 5 anak yang menjadi korban itu berusia antara 8 hingga 11 tahun. Seluruh korban masih satu desa dengan tersangka, di Kecamatan Langkahan, Kabupaten Aceh Utara.
Mengutip keterangan Waka Polres Aceh Utara melalui konprensi, Ketua Umum Komnas PA ini.mengatakan, modus NU diduga mencabuli 5 anak itu, awalnya dengan mengajak anak pria untuk bermain masuk-masukkan burung.
Untuk meyakinkan anak pria itu, NU mengatakan hal itu bukan perbuatan dosa. Setelah itu, NU memberikan sejumlah uang. Diinformasikan, itu terjadi ditahun 2017.
Sedangkan untuk tiga bocah wanita, modus yang digunakan NU berpura-pura bermain cium-ciuman. Lagi-lagi NU mengatakan kepada korban, kalau perbuatan itu bukan dosa. Terhadap korban wanita ini, terjadi pada tahun 2018.
Kini NU mendekam di sel tahanan Mapolres Aceh Utara. Ia dijerat dengan pasal 81 ayat 2 junto pasal 82 ayat 2 UU nomor 35 tahun 2014 tentang perubahan terhadap UU nomor 23 tahun 2002 tentang perlinndungan anak, serta UU nomor 17 tahun 2016 tentang perubahan kedua terhadap UU nomor 23 tahun 2002, dengan ancaman minimal 10 tahun penjara dan maksimal 20 tahun penjara.
Menyikapi perkara itu, Arist mengatakan, kejahatan seksual terhadap anak yang terjadi di berbagai tempat dan pelakunya dari berbagai jenis profesi dan latar belakang, menunjukkan lemahnya pengawasan dan kewaspadaan orang tua dan guru terhadap anak.
Sebaiknya orang tua mengajarkan anak cara melindungi diri dari kejahatan seksual. Dengan memberikan pengetahuan dan keterampilan, tentang menjaga diri dari serangan kejahatan seksual. Baik dirumah, di sekolah dan ruang publik.
Anak, menurut Arist Merdeka Sirait, harus diajarkan kemampuan dan keberanian untuk menolak ajakan orang lain yang tidak dikenalnya. Serta berani.menolak bujuk rayu orang-orang terdekat anak. Demikian pula, bahwa anak harus diajarkan bagaimana cara menjaga organ-organ tubuh yang mana saja yang tidak boleh dipegang atau tidak boleh disentuh orang lain.
Untuk menyikapi kejahatan seksual yang sangat menakutkan itu, Arist yang telah malang melintang dalam gerakan perlindungan anak lebih dari 30 tahun, memberikan tips untuk melindungi anak dari predator kejahatan seksual. Seperti yang terjadi di Aceh Utara, Bandung dan ditempat lainnya yang terjadi akhir-akhir ini. Baik itu dilakukan secara perorangan maupun gerombolan.
Untuk itu, Arist meminta pemerintah dan DPR agar segera melahirkan undang-undang (UU) penghapusan kekerasan seksual, yang saat ini, UU tersebut masih “parkir” di Senayan dan perlu dipercepat dibahas untuk diundangkan kemudian.
Sebab pada kenyataan, masih banyak orang dewasa dan atau orang tua, masih belum mengetahui peran mereka untuk memenuhi hak anak, dan cara melindungi anak-anaknya dari serangan seksual, eksploitasi, diskriminasi, eksploitasi seksual, serta dari bentuk kejahatan lainnya.
Ditegaskan Arist, tidak ada toleransi dan kata damai terhadap kejahatan seksual. Karena kejahatan seksual terhadap anak merupakan tindak pidana luar biasa (extraordinary crime), yang disetarakan dengan tindak pidana korupsi, tindak pidana narkoba dan tindak pidana terorisme.
Editor: Purba
Discussion about this post