SBNpro – Siantar
77 tahun yang lalu, tepatnya 27 September 1945, dua pemuda Siantar, Ismail Situmorang dan Ricardo Siahaan, gugur, setelah ditembak tentara Belanda (KNIL).
Mereka ditembak saat mengibarkan bendera Merah Putih untuk pertama kalinya di Siantar/Simalungun. Peristiwa berdarah itu terjadi di antara Taman Bunga dan Gedung Juang. Atau saat ini, lokasi berada di Terminal Bus Pariwisata, Jalan Merdeka.
Dampak dari penembakan tentara penjajah, Ismail Situmorang meninggal di lokasi kejadian, sedangkan Ricardo Siahaan meninggal di Rumah Sakit Tentara.
Saat ini, di bagian belakang Terminal Bus Pariwisata, terdapat sebuah prasasti, yang dibangun tahun 1996. Prasasti berisi pemberitahuan, bahwa di sekitar prasasti pernah dilakukan upacara pengibaran bendera Merah Putih yang pertama kali di Siantar/Simalungun.
Dan 77 tahun kemudian, Selasa (27/09/2022), 30-an jurnalis (wartawan) dan mahasiswa menggelar upacara singkat di depan prasasti, untuk mengenang dan memperingati kisah perjuangan Ismail Situmorang, Ricardo Siahaan dan rekan-rekan seperjuangan mereka.
Upacara diawali dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya yang dipandu mahasiswi USI, Merinda Cristina Sitio, setelah para jurnalis membentuk saf barisan.
Setelah itu, jurnalis senior, Imran Nasution memaparkan kisah singkat tentang pengibaran bendera Merah Putih pertama kali di Kota Siantar.
Kata Imran, di Jakarta, pengibaran bendera Merah Putih bersamaan dengan proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945. Sedangkan di Siantar, baru dapat dilakukan pada 27 September 1945.
Pengibaran bendera terlambat dilakukan di Siantar, karena informasi kemerdekaan terlambat sampai ke Siantar/Simalungun pada masa itu.
“Apalagi radio dan alat komunikasi saat itu masih dikuasai penjajah yang tetap berusaha bertahan di bumi pertiwi,” ucap Imran Nasution.
Lanjut Imran, sebelum Merah Putih berkibar, kontak senjata terjadi di sekitar Lapangan Merdeka (Taman Bunga) sebagai wilayah perbatasan (demarkasi) antar pejuang Indonesia dengan KNIL Belanda, yang waktu itu ditandai dengan peristiwa Polinesial tahun 1945.
“Kubu pejuang Indonesia berada di sekitar Balai Kota (Kantor Walikota Siantar saat ini) dan Gedung Juang samping lokasi parkir pariwisata sekarang. Sedangkan kubu KNIL Belanda di Siantar Hotel,” ujarnya.
Kontak senjata menyebabkan dua anak muda Siantar saat itu, gugur, sebagai pahlawan. “Itu merupakan sejarah yang disampaikan secara lisan maupun tercatat dalam buku sejarah Siantar Berdarah. Namun yang banyak tidak mengetahuinya,” ujar Imran.
Selepas pemaparan sejarah, peserta upacara mengheningkan cipta, dilanjutkan dengan orasi dari sejumlah jurnalis dan mahasiswa.
Pemred Ninna.id, Mahadi Dedi Sitanggang mengatakan, jurnalis dan mahasiswa perlu memperingati kisah yang terjadi pada 27 September 1945 di Kota Siantar, disaat banyak yang tidak perduli akan hal itu.
“Para jurnalis harus mengingatkan masyarakat Siantar bahwa di lokasi tempat kita berdiri ini ada sejarah yang sangat penting untuk diketahui. Dan jangan sekali-kali melupakan sejarah atau jasmerah,” ucap Mahadi Sitanggang.
Sedangkan Ketua PMKRI (Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia) Kota Siantar, Edis Galingging mengatakan, kegiatan yang ia ikuti sangat berarti baginya. Apalagi, kegiatan seperti itu tidak pernah dilakukan.
“Pada tahun mendatang, peringatan seperti ini harus kita tingkatkan lagi supaya lebih baik. Sehingga, khususnya kalangan generasi muda, selalu mengingat tentang sejarah,” harap Edis.
Di sela-sela peringatan, Merinda Cristina Sitio dan Muhammad Arya Ananda, keduanya mahasiswa USI, tampil dengan membacakan puisi tentang Pahlawan, menambah suasana sore itu semakin hening dan haru.
Mengakhiri kegiatan mengenang peristiwa 27 September 1945, jurnalis Rika Suartiningsi membacakan teks proklamasi. Disaat bersamaan, peserta berjalan mengitari sekitar lokasi upacara, lalu mengelus prasasti pengibaran bendera Merah Putih pertama di Siantar. (*)
Editor: Purba
Discussion about this post