Catatan M Gunawan Purba
April 2019 yang lalu, Walikota Siantar, Hefriansyah meminta Inspektorat Sumatera Utara (Sumut) melakukan pemeriksaan terkait dugaan penyalagunaan wewenang yang diduga dilakukan Sekda Kota Siantar saat itu, Budi Utari.
Beranjak dari permintaan Walikota itu, Inspektorat Sumut-pun melakukan tugasnya. Tim pemeriksa-pun turun ke Kota Siantar. Pemeriksaan terhadap sejumlah staf dan pimpinan organisasi perangkat daerah (OPD) dilakukan. Termasuk meminta keterangan dari Budi Utari dan pihak lain yang terkait juga dilakukan.
Pasca lima bulan berlalu, persisnya dibulan September 2019, Inspektorat baru dapat menerbitkan hasil pemeriksaan. Dimana hasilnya, Inspektorat menemukan Budi Utari menyalahgunakan wewenang. Beranjak dari hasil pemeriksaan Inspektorat Sumut itu, disebut, Gubernur Sumatera malah menyerukan (merekomendasikan) kepada Walikota Siantar agar mengenakan sanksi disiplin terhadap Sekda Kota Siantar, Budi Utari.
Lantas, Walikota Siantar-pun, benar-benar mengenakan sanksi disiplin terhadap Budi Utari. Sanksi itu berupa pemberhentian Budi Utari dari jabatan Sekda Kota Siantar. Lalu, Budi Utari ditempatkan sebagai staf di Sat Pol PP Kota Siantar.
Pasca sanksi dikenakan, Budi Utari tidak tinggal diam. Ia melakukan “perlawanan”, dengan melaporkan pemberhentian dirinya dari jabatan Sekda oleh Walikota Siantar ke Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN).
Selanjutnya KASN menyatakan, proses pemberhentian Budi Utari sebagai Sekda Kota Siantar tidak sesuai prosedur. Walikota-pun diminta KASN mengembalikan jabatan Sekda Kota Siantar kepada Budi Utari. Meski KASN menyatakan melalui Asisten Komisioner KASN, Sumardi, bahwa yang dilakukan Inspektorat Sumut tidak salah.
Malah menurut Sumardi, hasil pemeriksaan Inspektorat Sumut tersebut, seharusnya menjadi bahan bagi Walikota untuk melakukan pemeriksaan sendiri terhadap Budi Utari. Kemudian, baru dapat mengenakan sanksi disiplin terhadap Budi Utari.
Hanya saja, terlepas dari prosedur pemberhentian yang dinilai salah oleh KASN, sebaiknya Gubernur Sumut (Gubsu), Edy Rahmayadi tidak sebatas menerbitkan rekomendasi kepada Walikota Siantar.
Sebab, sesuai PP nomor 53 tahun 2010, tentang disiplin PNS (Pegawai Negeri Sipil), sanksi yang dapat dikenakan Walikota sebagai pejabat pembina kepegawaian (PPK) terhadap Sekda, hanya berupa penurunan pangkat satu tingkat lebih rendah selama tiga tahun. Hal itu sebagaimana diatur di pasal 20 ayat 1 point a, bila terbukti menyalahgunakan wewenang.
Adapun bunyi pasal 20 ayat 1 point a tersebut sebagai berikut, Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah Kabupaten/Kota menetapkan penjatuhan hukuman disiplin bagi PNS Daerah Kabupaten/Kota yang menduduki jabatan Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota di lingkungannya, untuk jenis hukuman disiplin sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat 2, ayat 3, dan ayat 4 point a.
Sedangkan pasal 7 ayat 4 PP nomor 53 tahun 2010 mengatur tingkatan dan jenis sanksi hukuman disiplin yang dapat dikenakan bagi PNS, bila melakukan pelanggaran. Salah satu pelanggaran itu, jika menyalahgunakan wewenang, maka PNS tersebut dapat dikenakan hukuman berat.
Adapun jenis hukuman berat sesuai pasal 7 ayat 4 tersebut adalah:
Point a. Penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama 3 (tiga) tahun
Point b. Pemindahan dalam rangka penurunan jabatan setingkat lebih rendah
Point c. Pembebasan dari jabatan
Point d. Pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS, dan
Point e. Pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS.
Sehingga, jika sanksi jenis hukuman berat yang bisa dikenakan Walikota hanyalah penurunan pangkat satu tingkat lebih rendah selama tiga tahun, lantas siapa yang dapat mengenakan sanksi hukuman berat lainnya sesuai ketentuan pasal 7 ayat 4 point b,c,d dan e? Jawabnya adalah gubernur.
Dalam hal ini, gubernur bertindak sebagai wakil pemerintah pusat untuk mengenakan sanksi jenis hukuman berat terhadap PNS yang akan dikenakan sanksi sesuai pasal 7 ayat 4 point b,c,d dan e. Termasuk pembebasan dari jabatan, sesuai ketentuan point c dipasal 7 ayat 4 PP nomor 53 tahun 2010.
Untuk itulah, sudah seharusnya Gubernur Sumut, Edy Rahmayadi mengambil alih penuntasan masalah pengenaan sanksi terhadap Sekda Kota Siantar, Budi Utari yang disebut Inspektorat Sumut menyalahgunakan wewenang.
Karena sebagai wakil pemerintah pusat, sudah selayaknya Gubsu bersikap tegas terhadap pejabat eselon dua yang melanggar ketentuan. Dan bukan sebatas memberikan rekomendasi kepada Walikota Siantar. Dengan cara, mengenakan sanksi sesuai amanah PP nomor 53 tahun 2010, sebagaimana diatur pada pasal 19 point a, junto pasal 7 ayat 4 point b,c,d dan e.
Bila Gubsu bersikap tegas, dengan menjalankan kewenangannya sesuai pasal 19 point a junto pasal 7 ayat 4, diyakini akan mampu menyelesaikan persoalan Sekda di Kota Siantar, yang akhir-akhir ini sempat menyita perhatian banyak orang. Bahkan membuat bingung sejumlah PNS di Kota Siantar tentang jabatan Sekda saat ini. (*)
Discussion about this post