Oleh Rudy Wu SPd SH MH
Imlek merupakan salah satu agenda perayaan utama bagi masyarakat etnis Tionghoa dimanapun berada. Dimulai pada hari pertama bulan pertama penanggalan lunar dan berakhir pada tanggal kelima belas (purnama), yang populer disebut Cap Go Me.
Berbagai kegiatan penyambutan kerap menjadi rutinitas tahunan. Membersihkan, merenovasi tempat tinggal, ritual kepercayaan/leluhur , seni tarian/pertunjukan (barongsai), jamuan makan bersama, silahtulami dan interaksi sosial antar sesama kerabat serta masyarakat lingkungan sekitarnya. Begitulah hal tersebut terlestari dari waktu ke waktu, dan dari generasi ke generasi berikutnya, dimanapun keberadaan nya .
Tahun 1968 – 1999, tepatnya sejak diterbitkan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 dibawah rezim orde baru kepemimpinan Presiden Soeharto, perayaan Imlek dan hal – hal sekaitan sempat dilarang dirayakan didepan umum karena alasan politis.
Pasca reformasi, dimasa kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid mencabut Inpres Nomor 14/1967 dan mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 2001 pada tanggal 09 April 2001, yang menetapkan Imlek sebagai hari libur fakultatif (berlaku hanya bagi yang merayakan) . Selanjutnya ditahun 2002 oleh Presiden Megawati Soekarnoputri, Imlek resmi ditetapkan menjadi salah satu hari libur nasional mulai tahun 2003 .
Namun jauh dari dramatis dan kronologis perjalanan akan keberadaan perayaan Imlek hingga kini ia tetap terlestari kan. Karna seyogianya Imlek mengandung beberapa makna dan nilai estetika budaya serta sosial kemasyarakatan.
Imlek bisa menjadi momentum selain pelestarian budaya (jati diri), tak luput didalamnya nilai – nilai perekat kebatinan, keperdulian, rasa syukur dan instrilopeksi diri terhadap segala sesuatu yang telah terjadi, dilakukan, dialami, dimiliki serta kekurangan yang ada.
2019 secara lunar memasuki tahun Babi 2570 berunsur tanah. Babi merupakan shio terakhir dalam kalender Cina. Mereka yang terlahir di tahun 1935 , 1947 , 1959 , 1971 , 1983 , 1995 dan 2007 bershio babi .
Dan Imlek jatuh pada tanggal 05 Febuari 2019 . Tahun babi unsur tanah secara umum membawa aura positip dalam bidang keuangan, investasi, hubungan relasi, perdamaian dan kesehatan .
Tionghoa dan Indonesia
Berasal dari bahasa hokkien, “Tenglang/Tionghoa”, dan “Tengnang” dalam bahasa Hakka, serta “Tangren” dalam bahasa Mandarin yang berarti orang selatan.
Ribuan tahun lalu, orang Tionghoa bermigrasi secara bergelombang ke berbagai pelosok dunia melalui kegiatan perniagaan. Termasuk bermukim di Nusantara Indonesia (Jawa , Sumatera Utara , Bangka Belitung , Sumatera Selatan , Lampung , Lombok , Kalimantan Barat , Banjarmasin , Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara , yang masih berbentuk kerajaan ( pra kemerdekaan ).
Sejak kemerdekaan 17 Agustus 1945 dengan terbentuk-nya NKRI, orang Tionghoa yang berkewarganegaraan Indonesia digolongkan sebagai salah satu suku/etnis bangsa Indonesia, sebagaimana pasal 2 UU Nomor 2 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia .
Keterlibatan dan kontributif etnis Tionghoa terutama masa revolusi dan pra kemerdekaan jelas terlihat dalam berbagai pergerakan perlawanan dan perjuangan terhadap penjajahan .
Beberapa tokoh pemuda Tionghoa yang terlibat dalam deklarasi ikrar Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 diantaranya, Kwee Thiam Hong, Sie Kong Liong, Lauw Tjoan Hok, Ong Kay Sing, dan Tjio Djin Kwie. Bahkan rumah Sie Kong Liong yang di jalan Keramat Raya Nomor 106 Jakarta Pusat menjadi Museum Sumpah Pemuda .
Mayor John Lie terlibat aktif dalam pergerakan melawan Belanda. Lie Koen Hian, Tan Eng Hoa, Oey Tiang Tjoe, Oey Tjong Hauw, terlibat dalam perumusan UUD 1945, dan Drs Yap Tjwan Bing masuk dalam salah satu Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) .
Pasca kemerdekaan, beberapa etnis Tionghoa masuk dalam jajaran Kabinet Dwikora Kementerian Presiden Soekarno. Diantaranya, Oei Tjoe Tat , Ong Eng Die dan Siauw Giok Tjhan .
Memasuki order baru, partisipatif etnis Tionghoa terstagnan. Karena terjadi pembatasan ruang gerak berekspresi akibat pertimbangan tekanan politik yang sebenarnya kurang mendasar. Yang akhirnya menjadi trauma berkepanjangan.
Barulah sejak kejatuhan rezim orde baru, seiring dengan “pecahnya” reformasi ditahun 1998, kesetaraan dan keterbukaan mulai memberikan aura segar untuk mengobati traumatik tersebut .
Reformasi 1998 sekaligus menjadi momentum perubahan sejarah perjalanan bangsa Indonesia menuju cita – cita kemerdekaan. Perlahan perbaikan kesetaraan dan keterbukaan diberbagai bidang kehidupan tertata secara baik dan benar. Etnis Tionghoa kembali berperan aktif secara nyata dalam multi dimensi kehidupan dan hajatan berbangsa dan bernegara. Baik melalui bidang ekonomi, budaya, pendidikan, sosial, pertahanan, keamanan dan politik.
Imlek, Tionghoa dan Indonesia merupakan tiga kesatuan unsur keeksistensian energi positip potensial, yang bisa mengalir dan dialirkan ke setiap dimensi kehidupan yang ada. (*)
(Penulis adalah Tokoh Gerakan Pembaharuan Tionghoa Indonesia)
Discussion about this post