Oleh M Gunawan Purba
JR Saragih atau Jopinus Ramli Saragih semakin populer di Sumatera Utara (Sumut). Bahkan dibicarakan elite nasional di negeri ini, pasca dirinya dan pasangannya, Ance Selian dinyatakan tidak memenuhi syarat sebagai pasangan calon Gubernur Sumut dan calon Wakil Gubernur Sumut oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sumut.
Ia tampak menangis. Namun ia tetap optimis, dengan langkah yang akan ia tempuh. Dibalik kesedihan yang menimpanya, dengan tegas ia menyatakan akan melakukan perlawanan terhadap keputusan KPU Sumut. Ia akan menggugat keputusan KPU Sumut ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Sumut.
Kenapa iya akan menggugat? Karena ia tidak terima digagalkan sebagai calon Gubernur Sumut, hanya karena legalisir ijazah SMA (Sekolah Menengah Atas). Apalagi ia merasa ijazah SMA-nya telah dilegalisir.
Menarik. Ya, cukup menarik untuk dibahas. Karena bagi sebagian orang, urusan legalisir merupakan urusan “kecil”. Bahkan tidak sedikit menilai, urusan legalisir merupakan hal sepele. Malah, sebagian lagi menyebut, bukan hal yang menarik perhatian.
Tapi faktanya, JR Saragih gagal ditetapkan KPU Sumut sebagai calon, karena persoalan legalisir ijazah SMA-nya. Dan menjadi fakta pula kemudian, persoalan legalisir, merupakan hal yang menarik. Bahkan, sangat menarik perhatian untuk dibicarakan.
Media sosial (medsos) ramai membahas legalisir tersebut. Sejumlah orang di warung kopi, cukup seru memberikan penilaian-penilaian terhadap keputusan KPU Sumut dan penilaian terhadap JR Saragih tentunya.
Penilaian melalui obrolan itu, membuat berlalunya waktu tak begitu dirasakan. Pagi dibahas, hingga sore, belum juga selesai. Perbedaan pendapat, cukup tinggi untuk itu.
Pengobrol warung kopi dan para komentator media sosial, masih saja berkutat dengan informasi yang disajikan KPU Sumut, tentang pernyataan Sekretaris Dinas Pendidikan DKI Jakarta, yang menyatakan Dinas Pendidikan DKI Jakarta tidak ada melegalisir fotocopy ijazah SMA JR Saragih, dan pernyataan JR Saragih, yang menegaskan, ijazahnya telah dilegalisir oleh Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta.
Dan semakin melebar obrolan itu, dengan membandingkan tingkatan struktur jabatan Kepala Dinas dengan Sekretaris Dinas. Selayaknya, hal itu tidak perlu lagi dipertanyakan, dan tak perlu pula untuk dijawab. Karena ketentuan aturan sudah menegaskan, Sekretaris Dinas itu merupakan bawahan dari Kepala Dinas.
Seharusnya, beranjak dari persoalan yang menimpa JR Saragih ini, kita semakin menyadari, betapa menyedihkannya nasib ini, bila kita yang telah memiliki ijazah, kehilangan hak, hanya karena legalisir fotocopy ijazah.
Sungguh nakal legalisir ini. JR Saragih yang notabene menjabat Bupati Simalungun dan juga Ketua DPD Partai Demokrat Sumut, malah menjadi korban kenakalan legalisir.
Haruskah legalisir ijazah menentukan hak seseorang untuk ikut bertarung dipemilhan? Haruskah, hanya karena legalisir ijazah, seorang bergelar magister (master) atau sarjana, tidak bisa mendapatkan pekerjaan? Anehkan? Bila legalisir yang menjadi patokan. Padahal ijazahnya sah sehingga berhak menyandang gelar tersebut.
Bagaimana pula, bila kita yang menamatkan pendidikan, dari satu sekolah (atau perguruan tinggi) yang sangat jauh dari daerah tempat tinggal kita saat ini? Sementara kemampuan keuangan kita cukup terbatas. Sehingga, kita tidak memiliki kemampuan untuk melegalisir ijazah tersebut.
Sementara disisi lain, kita menginginkan pekerjaan, ingin mengikuti pemilihan kepala desa, ingin jadi polisi, ingin jadi pengacara, ingin jadi tentara, atau rakyat miskin menginginkan kita menjadi calon disuatu Pilkada. Apakah layak legalisir ijazah menjadi penghalang? Sementara kita benar-benar memiliki ijazah yang sah.
Tak pantas. Sungguh sangat tidak pantas, legalisir mengahalangi niat tulus dan suci seseorang. Bukankah ijazah asli sudah cukup? Lantas untuk apa lagi legalisir, bila aslinya dapat ditunjukkan dan diperiksa keasliannya.
Maunya bijaklah. Jangan ganjal seseorang hanya karena legalisir. Terima saja berkasnya. Lalu, lakukan verifikasi keabsahan berkasnya. Bukannya, malah mempersoalkan legalisirnya ijazahnya.
Tapi verifikasilah keabsahan ijazahnya. Cukup. Bila yakin ijazah itu sah, ya berikan haknya. Kalau tak yakin, ya harus bisa dibuktikan, ijazah itu tidak sah.
Sehingga kita tidak perlu terlalu kaku terhadap suatu aturan turunan. Karena ada undang-undang yang menegaskan, syarat calon itu, minimal tamatan SLTA (SMA) sederajat.
Discussion about this post