SBNpro – Siantar
Jumlah warga miskin di Kota Siantar membludak. Sesuai Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang diterbitkan Kementerian Sosial, masyarakat miskin di kota itu mencapai 124 ribu jiwa lebih.
Informasi awal menyebut, ada 27 ribu KK masyarakat miskin yang terdaftar di DTKS Kementerian Sosial. Namun hal itu diperbaharui oleh Koordinator Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK) Kota Siantar Armansyah, Senin (18/04/2022).
TKSK adalah relawan yang ditugaskan Kementerian Sosial di kecamatan. Salah satu tugas TKSK, melakukan pendataan masyarakat miskin untuk di daftarkan di DTKS bersama pihak kelurahan.
Menurut Armansyah, jumlah masyarakat miskin di Kota Siantar sebanyak 33 ribu KK. Atau 60 persen dari jumlah penduduk Kota Siantar. “Kalau perjiwa ada sekira 124 ribu sekian-sekian (jiwa),” ucap Armansyah saat ditemui di lingkungan Balai Kota Siantar.
Jumlah 33 ribu KK itu sesuai DTKS yang diterbitkan Kementerian Sosial pada Pebruari 2022. Sedangkan tahun 2021 yang lalu, warga miskin yang terdaftar jumlahnya sekira 21 ribu KK. “Data Pebruari 2022. Kalau tahun lalu 21 ribu KK,” ujarnya.
Membludaknya jumlah masyarakat miskin Kota Siantar, sebut Armansyah, tidak terlepas dari pandemi Covid-19 yang sudah berlangsung sejak tahun 2020 yang lalu. Dan terkait syarat bagi warga yang dapat menerima bansos, harus terdaftar di DTKS.
Sehingga, data warga penerima bantuan sosial (bansos) dari Pemko Siantar dan dari Pemprov Sumatera Utara yang lalu, seluruhnya dimasukkan ke dalam DTKS.
“Tidak terlepas dari pandemi Covid-19 ini. Serta syarat untuk penerima bantuan harus terdaftar di DTKS. Jadi penerima bantuan Pemko dan Pemprov, semuanya dimasukkan,” katanya.
Sementara itu, membludaknya jumlah warga miskin, sebut sejumlah lurah di Kota Siantar, karena perubahan data tidak dilakukan.
“Kami sudah minta agar warga tertentu dikeluarkan (dari DTKS), tapi tetap ada didalam DTKS. Padahal warga itu tidak lagi layak menerima bantuan,” ucap salah seorang lurah, juga saat ditemui di Balai Kota Siantar.
Bukan hanya warga yang sudah tidak lagi miskin, bahkan warga yang sudah meninggal, juga masih terdaftar di DTKS yang diterbitkan Kemensos, sebut lurah lainnya.
Terkait hal itu, baik Armansyah maupun Kepala Dinas Sosial P3A Kota Siantar, Pariaman Silaen tidak membantahnya.
Menurut Pariaman Silaen, usulan perubahan dari musyawarah kelurahan (muskel) sudah di ajukan ke Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Kesejahteraan Sosial Kemensos. Hanya saja, data banyak yang tidak berubah.
Sedangkan Armansyah mengatakan, tidak terjadinya perubahan, karena nomor induk kependudukan (NIK) yang dimiliki warga tidak valid, atau tidak terdaftar di Kemendagri.
Serta, saat data identitas diinput operator kelurahan, data yang diinput, identitasnya tidak lengkap. “NIK nya tidak valid. Baru ada juga yang tidak mencantumkan nama ibunya,” sebut Armansyah.
Pun begitu, ungkap Armansyah, meski ada juga warga yang NIK-nya sudah valid, serta identitas lainnya sudah lengkap, tetap saja tidak ada di DTKS. “Bahkan sudah di SK kan Walikota. Tapi tidak juga berubah DTKS yang kami terima,” paparnya.
Indikator Masyarakat Miskin
Sementara itu, berikut 14 indikator masyarakat miskin agar terdatar di DTKS. Diantaranya:
1. Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m2 per orang
2. Jenis lantai tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/kayu murahan
3. Jenis dinding tempat tinggal dari bambu/rumbia/kayu berkualitas rendah/tembok tanpa diplester.
4. Tidak memiliki fasilitas buang air besar/ bersama-sama dengan rumah tangga lain.
5. Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik.
6. Sumber air minum berasal dari sumur/mata air tidak terlindung/sungai/air hujan.
7. Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/arang/ minyak tanah
8. Hanya mengkonsumsi daging/susu/ ayam dalam satu kali seminggu.
9. Hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun
10. Hanya sanggup makan sebanyak satu/dua kali dalam sehari
11. Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas/poliklinik
12. Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah: petani dengan luas lahan 500m2, buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan dan atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan dibawah Rp. 600.000,- per bulan
13. Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga: tidak sekolah/tidak tamat SD/tamat SD.
14. Tidak memiliki tabungan/barang yang mudah dijual dengan minimal Rp. 500.000,- seperti sepeda motor kredit/non kredit, emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya. (*)
Editor: Purba
Discussion about this post