Oleh :
Daulat Sihombing SH MH (Advokat/ Ketua Sumut Watch)
Pernyataan umum tentang hak azasi manusia (Universal Declaration of Human Rights), tanggal 10 Desember 1948 di Paris, setidaknya merumuskan 6 (enam) hak fundamental manusia, baik secara individu maupun secara kolektif. “Bebas berbicara dan mengemukakan pendapat. Bebas berkumpul dan berserikat. Bebas beragama. Bebas dari rasa takut dan Bebas dari kemiskinan”.
Lahirnya Pernyataan Umum Hak Azasi Manusia, pada dasarnya merupakan perwujudan dari pengakuan tentang hakekat dasar manusia yang dilahirkan bebas dan setara di dalam hak, sedang perbedaan sosial dapat ditemukan hanya pada keperluan umum.
Deklarasi HAM membagi hak azasi warga negara dalam 3 (tiga) generasi. Generasi Pertama, hak sipil – politik yang meliputi hak berbicara, berpendapat, berorganisasi, beragama, keadilan (pengaduan atau gugatan perkara baik pidana, perdata maupun administrasi, serta diadili melalui proses yang bebas dan tidak memihak), perlindungan hukum (tidak boleh ditangkap, ditahan, disiksa, dikucilkan, diasingkan secara sewenang- wenang), tidak diperlakukan kejam, hak atas kehormatan, derajat dan martabat kemanusiaan, menjadi anggota/ pengurus atau mendirikan parpol, memilih atau dipilih secara bebas dan lain-lain.
Generasi Kedua, Hak sosial – ekonomi dan budaya yang meliputi : jaminan sosial, hak untuk pekerjaan yang layak, menjalankan ibadah agama, perlindungan diri, keluarga, hak milik, surat- menyurat, komunikasi, kekerabatan, pendidikan dan pengajaran, karir, hidup dalam tatanan masyarakat dan negara, mendirikan/ menjadi anggota atau pengurus organisasi sosial kemasyarakatanserikat, hak mengembangkan diri melalui seni dan kreasi, dan lainnya.
Generasi Ketiga, Hak turut serta dalam partisipasi pengelolaan negara/ pemerintahan yang meliputi : hak mencari, memperoleh dan memberikan informasi tentang penyelenggaraan negara/ pemerintahan, memperoleh pelayanan yang sama dan adil dari penyelenggara negara/ pemerintahan, menyampaikan saran/pendapat, dan bertanggungjawab atas kebijakan negara/ pemerintahan, memperoleh perlindungan hukum, hak untuk ikut mengawasi kebijakan negara/ pemerintahan, dan lainnya.
Instrumen Hukum dan Demokrasi
KIP yang diatur dalam UU No. 14 Tahun 2008, adalah salah satu instrumen hukum dan demokrasi yang menjamin penegakan dan pelaksanaan hak azasi warga negara dibidang informasi publik. Pasal 1 UU ini merumuskan bahwa informasi publik ialah informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim, dan/ atau diterima oleh suatu badan publik yang berkaitan dengan penyelenggara dan penyelenggaraan badan hukum publik lainnya yang sesuai dengan undang- undang ini serta informasi lain yang berkaitan dengan kepentingan publik.
Sedang pengertian badan publik disini ialah lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif dan badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, atau organisasi nonpemerintah sepanjang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari APBN/APBD, atau sumbangan masyarakat dan/ atau luar negeri.
Adapun tujuan KIP menurut ketentuan Pasal 3 UU No. 14 Tahun 2008, ialah :
Menjamin hak warga negara untuk mengetahui rencana pembuatan kebijakan publik, program kebijakan publik, dan proses pengembilan keputusan publik, serta alasan pengembilan suatu keputusan publik. Mendorong partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik. Meningkatkan peran aktif masyarakat dalam pengambilan kebijakan dan pengelolaan badan publik yang baik. Mewujudkan penyelenggaraan negara yang transparan, efektif, akuntabel serta dapat dipertanggungjawabkan.
Untuk mencapai tujuan tersebut, UU ini memberi hak bagi setiap warga negara untuk melihat dan mengetahui informasi publik, menghadiri pertemuan publik yang terbuka untuk umum, mendapatkan salinan informasi publik melalui permohonan, menyebarluaskan informasi publik, dan dalam hal adanya hambatan atau kegagalan, setiap orang/ badan juga berhak mengajukan gugatan ke pengadilan.
Akses KIP dikecualikan dalam Pasal 17 UU ini yakni informasi publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada pemohon dapat menghambat proses penegakan hukum. Membahayakan pertahanan dan keamanan negara. Merugikan ketahanan ekonomi negara. Merugikan kepentingan hubungan luar negeri. Memorandum atau surat- surat antara badan publik atau intra badan publik, yang menurut sifatnya dirahasiakan. Informasi yang tidak boleh diungkapkan berdasarkan UU.
Mekanisme Memperoleh Informasi
Pada dasarnya setiap orang/ badan dapat mengajukan permintaan untuk memperoleh informasi publik kepada badan publik. Setelah badan publik menerima dan mencatat permintaan pemohon, maka paling lambat 10 hari kerja atau dapat diperpanjang paling lama 7 hari kerja sejak diterima permintaan, Badan Publik wajib menyampaikan pemberitahuan tertulis kepada Pemohon yang berisikan ditolak atau dikabulkan.
Dalam hal permintaan informasi publik ditolak badan publik, Pemohon dapat mengajukan keberatan ke Atasan Pejabat Pengelola Informasi Badan Publik, dalam jangka waktu paling lama 30 hari kerja setelah ditolak. Atasan Pejabat Pengelola Informasi memberikan tanggapan atas keberatan Pemohon dalam jangka waktu paling lama 30 hari kerja sejak keberatan Pemohon diterima.
Penyelesaian Sengketa
Bila permintaan Pemohon ditolak, penyelesaian sengketa informasi publik diajukan ke Komisi Informasi Publik Pusat dan/ atau Propinsi dan/ atau Kabupaten/ Kota dalam waktu paling lambat 14 hari kerja setelah diterimanya tanggapan tertulis dari atasan pejabat pengelola informasi.
Komisi Informasi menyelesaikan sengketa secara mediasi (penyelesaian sengketa melalui bantuan mediator komisi informasi), paling lama 14 s/d 100 hari kerja setelah menerima permohonan. Dalam hal mediasi tidak berhasil, Komisi Informasi akan melakukan penyelesaian sengketa Ajudikasi (penyelesaian sengketa berdasarkan putusan komisi informasi).
Jika salah satu pihak tidak menerima putusan Ajudikasi, maka dalam waktu paling lambat 14 hari kerja setelah putusan diterima sengketa dapat digugat ke PTUN atau Pengadilan Negeri dan paling lambat 14 hari setelah diterima putusan PTUN atau PN, selanjutnya kasasi dapat diajukan ke Mahkamah Agung.
Urgensi KIP Pada Ormas
Memahami KIP sebagai salah satu instrumen hukum dan demokrasi untuk menjamin partisipasi warga dalam pemerintahan, tentulah menjadi hal yang sangat penting. Namun jauh lebih penting lagi bahwa Ormas haruslah paham dan mengerti tentang haknya sebagai penyalur aspirasi rakyat untuk menjaga, memelihara serta memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa, termasuk menjaga norma, etika dan nilai- nilai moral dalam hidup bermasyarakat di satu sisi.
Namun di pihak lain, secara konsisten menangkal larangan dalam Pasal 59 ayat (3) dan (4) Perpu No. 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas UU No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan Menjadi Undang- Undang, sebagai tugas dan kewajiban dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.
Bahwa Ormas dilarang melakukan tindakan permusuhan terhadap suku, agama, ras atau golongan. Berbagai larangan lainnya, diantaranya, melakukan penistaan atau penodaan terhadap agama yang dianut di Indonesia.
Kemudian, ada juga larangan melakukan tindakan kekerasan, mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum dan fasilitas sosial. Dilarang melakukan kegiatan yang menjadi tugas dan wewenang penegak hukum. Tidak boleh melakukan kegiatan separatis yang mengancam kedaulatan NKRI. Serta tidak diperkenankan menganut, mengembangkan serta menyebarluaskan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila.
(Tulisan diatas sudah dipaparkan pada Dialog Publik yang difasilitasi oleh Kesbangpol Kota Pematangsiantar di Gedung Darma Wanita Kota Siantar, tanggal 14 Nopember 2018)
Discussion about this post