SBNpro – Siantar
Plt Walikota Siantar terbitkan Surat Edaran Nomor 180/4335/VII/2022 tentang penulisan kata (nama kota) Pematang Siantar.
Surat diterbitkan 21 Juli 2022, dan ditujukan kepada pimpinan OPD (Organisasi Perangkat Daerah) di lingkungan Pemko Pematang Siantar dan BUMD.
Pada surat edaran itu ditegaskan, agar penulisan nama kota berhawa sejuk ini tidak lagi digabung, seperti Pematangsiantar, melainkan menjadi Pematang Siantar.
Hal itu dilakukan, merujuk ke UU Darurat Nomor 8 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Kota-kota Besar dalam Lingkup Daerah Provinsi Sumatera Utara dan PP Nomor 15 Tahun 1986 tentang Perubahan Batas Wilayah.
Terkait perubahan penulisan Pematang Siantar disikapi Sejarawan dari Universitas Simalungun (USI), Jalatua Hasugian MA, Kamis (21/07/2022).
Bagi Jalatua, perubahan penulisan nama kota yang semula Pematangsiantar (digabung) menjadi Pematang Siantar (dipisah), agar tidak dilakukan mendadak, seperti saat ini.
Karena selayaknya, perubahan dapat dilakukan setelah Pemko Siantar melakukan kajian secara ilmiah, serta memperhatikan budaya.
“Sehingga jelas dulu landasan hukumnya. Mengapa sekarang dipisah, dan sejak kapan disatukan. Bukan mendadak begini,” ucap Jalatua.
Jalatua mengakui, di jaman penjajahan, penulisannya dipisah. “Memang jika mengacu pada dokumen-dokumen kolonial Belanda, mereka memang menuliskan Pematang Siantar, bukan Pematangsiantar,” ungkapnya.
Sehingga, Dosen FKIP Sejarah USI ini meminta Pemko Pematang Siantar memiliki kemampuan untuk menjelaskan perubahan penulisan nama Kota Pematang Siantar secara logis dan yuridis.
Dalam hal ini, pemerintah harus memiliki alasan yang kuat, sehingga perubahan dilakukan saat ini. “Mengapa baru sekarang dirubah? Juga menjelaskan apa untung ruginya jika dipisah maupun disatukan?” tanya Jalatua.
Pandangan seperti itu diungkap Jalatua, karena menurutnya tidak cukup landasannya bila hanya mengacu kepada UU Darurat Nomor 8 Tahun 1956 dan PP Nomor 15 Tahun 1986.
“Berarti selama ini Pemko Siantar membiarkan kesalahan terjadi berpuluh tahun?” tanyanya.
Sementara itu, Kabag Hukum Heri Okstarizal mengatakan, secara yuridis Pemko Pematang Siantar mengikuti UU Darurat Nomor 8 Tahun 1956 dan PP Nomor 15 Tahun 1986.
Sebab di kedua peraturan perundang-undangan tersebut, penulisannya dipisah, yakni Pematang Siantar.
Perubahan penulisan, sebut Heri Okstarizal, tidak terlepas dari fasilitasi Biro Organisasi Pemprov Sumatera Utara. Yang menyebut, penulisan nama kota Pematang Siantar harus dipisah.
Biro Organisasi Pemprov Sumatera Utara meminta Pemko Pematang Siantar untuk melakukan klarifikasi. Hal itu pun dilakukan, sebut Heri Okstarizal.
Selanjutnya, Pemko Pematang Siantar memperhatikan sisi sejarah dari Kota Pematang Siantar. Salah satunya dengan memperhatikan buku berjudul “Masa Pemerintahan Kolonial Belanda di Pematang Siantar 1917 – 1942”.
“Dibuku itu selalu menulis dipisah. Kalau menurutku dipisah, kata penulis buku tersebut. Tanya lagi ada buku lain, sampai sekarang belum diberitahu,” ucap Heri Okstarizal menyampaikan pembicaraannya dengan penulis buku tersebut.
Dijelaskan, pemisahan penulisan juga beranjak dari sejarah Kerajaan Siantar, yang merupakan salah satu kerajaan di Simalungun.
Katanya, ibu kota kerajaan disebut pematang. Jadi ibu kota Siantar adalah Pematang Siantar. Begitu juga dengan Kerajaan Raya, ibu kotanya Pematang Raya, dan lainnya.
Lebih lanjut disampaikan, penulisannya digabung banyak ditemukan pada sejumlah peraturan daerah (Perda) yang pernah ada di Kota Pematang Siantar. “Hanya saja tidak tahu alasannya kenapa digabung,” ujarnya.
Penelusuran juga dilakukan dengan memperhatikan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Di KBBI tidak ditemukan kata siantar. Sedangkan kata pematang memiliki arti suatu tempat yang lebih tinggi.
Pun begitu, ditegaskan Heri Okstarizal, penulisan dipisah untuk nama Kota Pematang Siantar merupakan bentuk penegasan dan koreksi. Serta perubahan itu berlaku untuk internal Pemko Pematang Siantar. (*)
Editor: Purba
Discussion about this post