SBNpro – Siantar
Keramahan etnis Simalungun terusik di tanah leluhurnya. Keramahan itu berubah menjadi kemarahan setelah brosur HUT Kota Siantar ke 147 beredar. Dalam brosur bertuliskan Festival Kota Pusaka, Semarak Budaya Siantar, Pematangsiantar 23 – 28 April 2018 itu, dianggap telah melecehkan budaya Simalungun .
Mereka merapatkan barisan dalam Gerakan Kebangkitan Simalungun Bersatu (GKSB). Gerakan ini bertindak untuk dan atas nama seluruh suku Simalungun.
Dalam kemarahan itu, GKSB mengeluarkan pernyataan sikapnya. Di luar pernyataan sikap itu, GKSB menekankan Kota Pematangsiantar selama ini berhasil menjadi kota paling toleran nomor dua di Indonesia. Hal itu tidak terlepas dari campur tangan Tuhan yang telah menetapkan suku Simalungun sebagai leluhur pemilik tanah dan budaya di Kota Pematangsiantar.
GKSB juga mengatakan, walaupun suku Simalungun adalah pemilik tanah dan budaya kota Pematangsiantar, namun Pemko Pematangsiantar kerap melakukan penekanan, diskriminasi dan pelecehan kepada suku Simalungun.
Kembali kali ini, dalam mengisi HUT Kota Pematangsiantar ke 147, Pemerintah Kota telah menyatakan kota Pematangsiantar sebagai kota pusaka dan diwujudkan dalam gambar rumah adat suku Simalungun yang kecil “UTTE JUNGGA”, yang identik telah terbakar dan tidak ada adat dan budaya Simalungun, seperti yang terlihat dalam brosur.
Atas kekecewaan dan kemarahan etnis Simalungun, GKSB menyatakan sikapnya bahwa :
Dapat diartikan bahwa suku Simalungun sebagai pemilik tanah leluhur dan budaya kota Pematang siantar telah dianggap pusaka dan tunggal saja.
Dapat di artikan bahwa suku Simalungun sudah punah dan tidak ada lagi.
Dapat diartikan bahwa benar suku Simalungun sudah punah dan tinggal pusaka yang ada hanya bekas rumah adat yang sudah terbakar, alat musik dan pakaian adat Simalungun sudah tidak ada lagi.
Dapat diartikan bahwa benar suku Simalungun sudah punah dan tinggal pusaka sehingga rumah adatnya saat ini di kuasai oleh tujuh adat dan budaya lain
Dapat diartikan bahwa adat dan budaya suku lain telah mengosongkan adat dan budaya suku Simalungun, sehingga yang terlihat hanya rumah adatnya yang kosong dikelilingi tujuh budaya dan adat daerah lain.
Bahwa jika tidak ada niat untuk menjadikan suku Simalungun sebagai pusaka, pemerintah kota Pematang siantar dapat menampilkan rumah adat Simalungun yang besar, tepat berada di pusat kota Pematang siantar yakni bangunan museum museum Simalungun.
Bahwa tidak benar suku Simalungun tinggal pusaka dan eksistensi Simalungun masih sangat diakui negara Republik Indonesia.
Bahwa akibat kebijakan walikota pematang siantar sebagai mana kami sebutkan di atas telah mengakibatkan kemarahan luar biasa dan gejolak batin dalam diri suku Simalungun karena menganggap walikota pematang siantar telah menista, menghina dan melecehkan Simalungun.
Bahwa akibat kebijakan walikota pematang siantar saat ini telah mengakibatkan adanya keresahan yang besar khususnya di komunitas suku Simalungun.
GKSB mengatakan, sesuai fakta di atas Walikota Pematang siantar telah melakukan pelanggaran terhadap UU nomor 40 Tahun 2008 tentang Diskriminasi Ras dan Etnis.
GKSB meminta kepada Ketua, Wakil Ketua dan seluruh Anggota DPRD Kota Pematang Siantar untuk bersidang menetapkan bahwa Walikota Pematangsiantar telah membuat kebijakan yang mengakibatkan gejolak SARA di Kota Pematang siantar dan telah melanggar sumpah jabatan. GKSB menuntut pemberhentian Walikota sesuai dengan ketentuan perundang undangan yang berlaku.
Penulis : Andi syah
Editor : Sitanggang
Discussion about this post