SBNpro – Siantar
Setelah menggelar penyelidikan terhadap Proyek Pembangunan Jembatan VIII Sta 13+441 sampai Sta 13+436 Outer Ring Road Tahun 2019, Kejaksaan Negeri (Kejari) Siantar menerbitkan hasil pemeriksaan pada 12 April 2021. Penyelidikan dilakukan setelah sejumlah media menyoroti proyek tersebut.
Hasil pemeriksaan, Kejari Siantar menetapkan indikasi kerugian keuangan negara pada Proyek Pembangunan Jembatan VIII Sta 13+441 sampai Sta 13+436 sebesar Rp 304 juta. Indikasi kerugian negara itu ditetapkan, beranjak dari pemeriksaan ahli dari Politekhnik Negeri Medan (Polmed).
Bahkan, hasil pemeriksaan dari Kejari itu digunakan Dinas Pekarjaan Umum dan Penataan Ruang (Dinas PUPR) Kota Siantar untuk menagih pengembalian kerugian keuangan negara kepada kontraktor.
Sementara tahun 2020, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah menerbitkan laporan hasil pemeriksaan (LHP) BPK terhadap pengelolaan keuangan Pemko Siantar tahun 2019, yang didalamnya termasuk kegiatan program anggaran Proyek Pembangunan Jembatan VIII Sta 13+441 sampai Sta 13+436.
BPK menyatakan, proyek jembatan yang dikerjakan PT EPP (PT Erapratama Putra Perkasa) terindikasi merugikan keuangan negara sebesar Rp 2,9 miliar. Hingga lewat 60 hari setelah hasil audit BPK diterbitkan, kontraktor PT EPP belum membayar kerugian negara tersebut.
Diduga kerugian negara baru dibayarkan PT EPP setelah Kejari Siantar menerbitkan hasil pemeriksaan. Pun begitu, yang sudah dibayarkan tidak sebesar nilai kerugian negara yang dinyatakan BPK.
Menyikapi hasil pemeriksaan Kejari Siantar, Akademisi Universitas Simalungun (USI) Dr Muldri Pasaribu SH MH menilai, bila Kejaksaan Negeri Siantar menetapkan kerugian keuangan negara, maka Kejari Siantar telah menyalahgunakan wewenang. “Menyalagunakan wewenang,” ujar Muldri Pasaribu.
Penilaian Muldri Pasaribu beranjak dari amanah UUD 1945, UU Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK dan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2016 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung.
Dikatakan, sesuai UUD 1945 dan UU Nomor 15 Tahun 2006, BPK memiliki kewenangan memeriksa pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara. Dimana, hasil dari pemeriksaan diserahkan BPK kepada DPR RI, DPD RI dan DPRD, sesuai dengan kewenangannya.
Kemudian, hasil pemeriksaan itu ditindaklanjuti oleh lembaga perwakilan maupun nadan sesuai dengan ketentuan undang-undang (UU).
“Ditegaskan lagi pada pasal 6 (UU Nomor 15 Tahun 2006), BPK bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara yang dilakukan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, lembaga negara lainnya, Bank Indonesia, BUMN, Badan Layanan Umum, BUMD dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara,” ujarnya.
Sesuai Pasal 30 ayat 1 UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, lanjut Dosen Fakultas Hukum ini, pada bidang pidana kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang melakukan penuntutan, serta melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Lalu tugas dan wewenang lainnya, melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan dan keputusan lepas bersyarat. Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan UU.
Serta melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.
Sementara itu, beranjak dari SEMA Nomor 4 Tahun 2016, Muldri memaparkan lembaga yang berwenang menyatakan kerugian keuangan negara.
“Instansi yang berwenang menyatakan ada tidaknya kerugian keuangan negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan yang memiliki kewenangan konstitusional,” tutur Muldri Pasaribu yang mendapatkan gelar SH dari Universitas Padjajaran (Unpad).
Katanya, isntansi lain seperti Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Inspektorat dan satuan kerja perangkat daerah (SKPD) tetap dapat melakukan pemeriksaan (audit) terhadap pengelolaan keuangan negara.
Hanya saja, tandas Muldri Pasaribu, BPKP, Inspektorat dan SKPD tidak berwenang menyatakan atau “mendeclare” adanya kerugian negara. “Sedangkan dalam hal tertentu hakim berdasarkan fakta persidangan dapat menilai adanya kerugian negara dan besarnya kerugian negara,” ungkap Muldri.
Terkait pengembalian kerugian keuangan negara, Muldri Pasaribu yang mendapatkan gelar doktor dan master-nya dari Universitas Sumatera Utara (USU) mengatakan, ketentuan pengembalian kerugian keuangan negara tidak berlaku terhadap yang bukan pejabat (tidak berlaku terhadap pihak swasta).
Hal itu, sebutnya, sesuai dengan ketentuan Pasal 20 ayat 3 UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara. Sebab ketentuan itu berlaku untuk penyelenggara pemerintahan.
Katanya lagi, pengembalian kerugian negara setelah lebih dari 60 hari tidak bersifat mengikat. “Manakala pengembalian kerugian negara oleh penyelenggara pemerintahan dilakukan setelah batas waktu 60 hari, adalah menjadi kewenangan penyidik melakukan proses hukum apabila ditemukan indikasi tindak pidana korupsi,” ujarnya.
Beberapa hari yang lalu, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Proyek Pembangunan Jembatan VIII Sta 13+441 sampai Sta 13+436 Opstip Pandiangan mengatakan, pihaknya (Dinas PUPR Kota Siantar) menggunakan hasil pemeriksaan Kejari Siantar untuk meminta pengembalian kerugian keuangan negara dari kontraktor PT EPP. Serta, juga menggunakan LHP BPK.
Kepala Seksi (Kasi) Intel Kejari Siantar Rendra Yoki Pardede SH belum menjawab konfirmasi yang dilayangkan SBNpro.com kepadanya terkait pendapat Dr Muldri Pasaribu SH MH tersebut. (*)
Editor: Purba
Discussion about this post